Kamis, 19 April 2012

MAKALAH SPI, Pembimbing Prof. Dr. Katimin, MA


KEPEMIMPINAN KHULAFAUR RASYIDIN
(SEKILAS TENTANG KHALIFAH USMAN DAN ALI)[*]

A.    PENDAHULUAN
Sejarah khalifah Islam dimulai ketika Rasulullah SAW  memerintahkan agar umat Islam mengankat seorang khalifah setelah Rasulullah wafat. Khalifat tersebut, diangkat dan di bai’at oleh umat untuk memimpin berdasarkan kitabullah serta sunnah rasul. Maka setelah Rasulullah meninggal, maka ummat muslim mengadakan pertemuan untuk mengankat seorang khalifah yang menjadi pemimpin mereka, dan tampuk kepemimpinan tersebut diambil alih oleh para sahabat Rasulullah.
Abu Bakr As-Shiddiq, merupakan khalifah pertama yang dibai’at oleh ummat muslim dan kemudian diteruskan oleh khalifah umar bin khattab. Sebelum khalifah umar meninggal, Umar mengusulkan beberapa nama untuk dijadikan khalifah penggantinya, antara lain : Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqos, Abdurrahman ibn Auf, Thalha ibn Ubaidillah.
Setelah rapat tertutup maka dipilihlah Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khattab. Terbunuhnya Usman bin Affan, maka terjadikah kekosongan pemimpin dalam dunia Islam, maka sebagian besar ummat menunjuk Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya
.
Kepemimpinan kedua khalifah terakhir ini, memiliki histori yag sangat menarik untuk dibahas sebagai penambah khazanah keilmuan sejarah disamping kedua khalifah ini memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Sehingga dalam makalah ini, pemakalah akan mengangkat tema tentang sekelumit kehidupan khalifah (Khulafau Ar-Rasyidin) di khusukan kepada khalifah Usman bin Affan serta Ali ibn Abi Thalib, sebelum menjadi khalifah, ketika menjadi khalifah dan kegiatan kepemerintahan selama menjadi pemimpin ummat tersebut.

B.     KHALIFAH USMAN BIN AFFAN
1.      BIOGRAFI USMAN SEBELUM MENJADI KHALIFAH
Utsman bin Affan, yang mempunyai nama lengkap Utsman ibn Affan ibn Abdil Ash ibn Umayyah,merupakan anak dari pasangan Affan dan Arwa. Utsman lahir pada tahun 576 H di Taif[1] dan merupakan keturunan keluarga besar Bani Umayyah suku Quraisy. Ia berwajah tampan, kulitnya halus dan putih, jenggotnya lebat, bagian depan kepalanya botak, dan tangannya kekar.[2] Dilahirkan di waktu Rasulullah SAW berusia lima tahun dan masuk agama Islam atas seruan Abu Bakar Ash Shiddiq.[3]
Ia mendapatkan kehormatan menikahi dua orang putri Rasulullah SAW, yaitu Ruqayyah dan Ummi Kultsum sehingga diberi julukan Dzu al-Nurain. Pada mulanya Rasulullah menikahkan Usman dengan putinya Ruqayyah, kemudian menikahi Ummu Kalsum setelah Ruqayyah meninggal dunia. Ketika Ummu Kalsum meninggal, Rasullah mengatakan kepadanya, “seandainya kami memiliki tiga, niscaya kami akan menikahkan dia kepada anda.”[4]
Sebelum memeluk Islam, ia sudah dikenal sebagai seorang pedagang yang kaya raya. Ia juga mempunyai sifat-sifat mulia lainnya, seperti sederhana, jujur, cerdas, shaleh dan dermawan. Ketika telah memeluk agama Islam, pada usia usia 34 tahun bersama Thalhah bin Ubaidilah, selain dikenal sebagai salah seorang sahabat terdekat nabi, ia juga dikenal sebagai seorang penulis wahyu. Ia selalu bersama Rasulullah SAW, dan selalu mengikuti semua peperangan kecuali perang Badar karena Rasulullah SAW memerintahkan Utsman untuk menunggui istrinya, Ruqoyyah, yang saat itu sedang sakit keras.
Selain Usman merupakan salah seorang sahabat terdekat Rasulallah SAW, usman juga seorang penulis wahyu dan sekretarisnya. Ia selalu berjuang bersama Rasulallah, Hijrah mengikuti Rasulallah SAW dan berperang pada setiap peperangan kecuali perang Badar. Sebagai seorang hartawan Usman menghabiskan hartanya demi Kejayaan dan penyebaran serta menjaga kaum muslim. Ia juga tidak segan-segan menyumbangkan hartanya untuk biaya perang, maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan penyebaran dan kehormatan agama Islam.


2.      USMAN DIANGKAT MENJADI KHLIFAH
Di waktu Umar kena tikam, beliau tidak bermaksud hendak mengangkat penggantinya. Factor-faktor yang mendorong Abu bakar untuk menunjuk penggantinya sudah tidak ada lagi. Bala tentara Islam telah mendapat kemenangan dan keadaan telah stabil. Tetapi kaum muslimin khawatir kalau-kalau terjadi perpecahan sesudah Umar meninggal dunia, karena itu mereka mengusulkan agar umar menunjuk siapa yang akan menggantikan posisi sebagai khalifah.[5]
Tiga hari setelah penikaman yang dilakukan oleh Abu Lu’lu Fairuzi Al-Farisi Al-Majusi (pembantu Mughirah ibn Syu’bah), Umar menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelum meninggal, ia menunjuk enam sahabat untuk memilih salah satu di antara mereka menjadi khalifah.[6] Keenam sahabat tersebut adalah :Ali bin Abi Tholib, Usman bin Affan, Abdurahman bin Auf, Saad bin Abi Waqos, Zubair bin Awwam dan Tholha bin Ubaidillah”.
Dalam hal ini kalau kita pelajari iklim dan suasana dimasa itu, jelaslah Umar dalam keadaan ragu. Beliau hendak tidak memikul tanggung jawab terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang-orang sepeninggal beliau. Takut keadaan kaum muslimin berpecah belah. Tetapi setelah dipikirkan matang-matang bahwa kalau dibiarkan begitu saja ia khawatir keadaan akan menjadi kacau. Karena dalam perang menghadapi tentara Persia dan Rumawi semua orang Arab sudah ikut serta sehingga setiap kabilah mengaku dirinya seperti kaum Muhajirin dan Anshar, berhak memilih khalifah. Karena itu beliau mengambil jalan tengah, dengan membentuk Majlis Syura yang terdiri dari enam orang dengan tugas memilih diantara mereka seorang khalifah sesudahnya.
Keseluruhan yang direkomendasi Umar adalah orang-orang yang telah dijamin masuk surga. Setelah menyebutkan nama-nama mereka Umar bin Khatab berkata: “ Tak ada orang yang lebih berhak dalam hal ini daripada mereka itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat sudah merasa puas terhadap mereka . siapapun yang terpilih dialah khalifah sesudah saya” . Dari kenam tokoh yang direkomendasi Umar tak ada satu tokohpun yang berasal dari kaum Anshor atau kabilah-kabilah Arab lainnya, semua mereka berasal dari kaum Muhajirin dan dari kaum Quraiys, namun tidak ada tentangan dan protes atas rekomendasi Umar tersebut.[7]
Adapun Philip K Hitti, meyatakan bahwa penunjukan enam orang tersebut merupakan pembentukan dewan formatur[8], dengan ketentuan bahwa anaknya tidak boleh dipilih sebagai penggantinya. Penunjukan dewan formatur yang disebut dengan syura (permusyawarahan) ini, meliputi para sahabat tertua da terkemuka, memperhatikan bahwa gagasan arab kuno tentang kepala suku telah mengalahkan gagasan tentang kerajaan turun – temurun.
Senioritas kesukuan kembali menjadi penentu terpilihnya Utsman (644), khalifah ketiga yang mengungguli Ali. Utsman mewakili aristocrat Umayyah, berbeda dengan dua pendahulunya yang mewakili kalangan muhajirin. Namun tidak seorangpun dari ketiga khalifah ini yang mendirikan sebuah dinasti.[9]
Pada dasarnya penentuan khalifah ketiga dengan system formatur sangatlah susah, disamping adanya  unsur fanatisme kabilah dalam sidang formatur yang sangat berperan menentukan khalifah. Ali berasal dari Bani Hasyim sedangkan Usman dari Bani Umayyah. Di pihak Bani Hasyim Abbas sangat menghendaki kekhalifahan berada dikalangan keluarga Nabi. Dipihak Bani Umayyah tidak kurang ambisinya ingin agar kekholifahan berada ditangan mereka
Pada akhirnya kata kunci berada pada Abdurrahman bin Auf, yang menetapkan Usman sebagai khalifah ketiga. Pemilihan ini dilakukan setelah melalui lobi dan seleksi yang sangat ketat terhadap kedua kandidat. Penetapan ini sekecil apapun ada pertimbangan kabilahnya. karena isteri Abdurahman bin Auf saudara seibu Usman bin Affan.[10]
Ketika pemberian bai’at kepada Usman berakhir pada hari terakhir bulan zulhijah 23 H, Utsman kemudian duduk di mimbar Nabi SAW. Berbeda dengan khalifah sebelumnya, dimana Abu Bakar duduk satu tangga di bawah tempat yang diduduki Rasulullah dan Umar duduk satu tangga di bawah tempat yang diduduki Abu Bakar. Ketika Usman naik ke mimbar nabi, Utsman tidak bisa berbicara apa – apa, kemudian berfikir sejenak dan kemudian berkata “anda lebih membutuhkan seorang imam yang adil, bukan orator” setelah itu dia turan dari mimbar dan pulang.[11]

3.      KEPEMIMPINAN USMAN BIN AFFAN
Membahas tentang kepemimpinan, tidak lepas dari keberhasilan dan kekurangan tokoh yang memimpin tersebut disamping keberhasilan di zaman kepemimpinannya, demikian juga halnya dengan kepemimpinan Usman bin affan, terdapat kelebihan dan kekurangan juga.
Utsman bin Affan Menjabat sebagai khalifah semenjak 23-35 H atau 644-656 Masehi. Ia merupakan khalifah yang memerintah terlama, yaitu 12 tahun. Dari segi politik, pada masa pemerintahannya ia banyak melakukan perluasan daerah islam dan merupakan khalifah yang paling banyak melakukan perluasan. Hal ini sebanding dengan lamanya ia menjabat sebagai khalifah. Pada masanya, Islam telah berkembang pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia. Pesatnya perkembangan wilayah Islam didasarkan karena tingginya semangat dakwah menyebarkan agama Islam. Selain itu, sikap para pendakwah Islam yang santun dan adil membuat Islam mudah untuk diterima para penduduk wilayah-wilayah tersebut.
Selain banyak melakukan perluasan daerah, dari segi politik, Utsman adalah khalifah pertama yang membangun angkatan laut. Alasan pembuatan angkatan laut tersebut masih berhubungan dengan keinginan untuk memperluas daerah Islam. Karena untuk mencapai daerah-daerah yang akan ditaklukkan harus melalui perairan, Utsman berinisiatif untuk membentuk angkatan laut. Selain itu, pada saat itu banyak terjadi serangan-serangan dari laut. Hal ini semakin memperkuat alasan Utsman untuk membentuk angkatan laut[12]. Bahkan ia juga orang yang pertama menyuruh membentuk kepolisian Negara serta mendirikan gedung peradilan yang pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar sidangperadilan masih diselenggarakan di Mesjid.[13]
Dari segi ekonomi, yaitu tentang pelaksanaan baitul maal, Ustman hanya melanjutkan pelaksanaan yang telah dilakukan pada masa sebelumnya, yaitu Abu Bakar dan Umar. Namun, pada masa Utsman, Ia dianggap telah melakukan korupsi karena terlalu banyak mengambil uang dari baitul maal untuk diberikan kepada kerabat-kerabatnya. Padahal, tujuan dari pemberian uang tersebut karena Utsman ingin menjaga tali silaturahim. Selain itu, disamping dari segi baitul maal, Utsman juga meningkatkan pertanian. Ia memerintahkan untuk menggunakan lahan-lahan yang tak terpakai sebagai lahan pertanian.
Dari segi pajak, Utsman, sama seperti dari segi baitul maal, melanjutkan perpajakan yang telah ada pada masa Umar. Namun sayangnya, pada masa Utsman pemberlakuan pajak tidak berjalan baik sebagaimana ketika masa Umar. Pada masa Utsman, demi memperlancar ekonomi dalam hal perdagangan, ia banyak melakukan perbaikan fasilitas, seperti perbaikan jalan-jalan dan sebagainya.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah mendeligasikan kewenangan menaksir harga yang dizakati kepada para pemiliknya. Hal ini untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh berbagai oknum pengumpul zakat[14].
Dari dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam. Dengan adanya perluasan wilayah, maka banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan agama Islam. Selain itu, adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli dengan para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik[15]. Dari segi sosial budaya, Utsman juga membangun mahkamah peradilan. Hal ini merupakan sebuah terobosan, karena sebelumnya peradilan dilakukan di mesjid. Utsman juga melakukan penyeragaman bacaan Al Qur’an juga perluasan Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi.
Penyeragaman bacaan dilakukan karena pada masa Rasulullah Saw, Beliau memberikan kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab untuk membaca dan menghafalkan Al Qur’an menurut lahjah (dialek)  masing-masing. Seiring bertambahnya wilayah Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa yang memeluk agama Islam, pembacaan pun menjadi semakin bervariasi[16].Akhirnya sahabat Huzaifah bin  Yaman mengusulkan kepada Utsman untuk menyeragamkan bacaan. Utsman pun lalu membentuk panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin mushaf yang disimpan oleh Hafsah dan menyeragamkan bacaan Qur’an, serta membakar semua jenis al-Quran yang ada dan Ali ibn Abi Thalib pada dasarnya memberikan persetujuan resminya akan hal tersebut[17].
Perluasan Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi dilakukan karena semakin bertambah banyaknya umat muslim yang melaksanakan haji setiap tahunnya. Adapun pendanaan untuk perluasan ini, tercatat oleh ahli sejarah didanai sendiri oleh khalifah Utsman
Para pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua periode, enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir adalah merupakan masa pemerintahan yang buruk[18]. Pada akhir pemerintahan Utsman, terjadi banyak konflik, seperti tuduhan nepotisme dan tuduhan pemborosan uang Negara. Tuduhan pemborosan uang Negara karena Utsman dianggap terlalu boros mengambil uang baitul maal untuk diberikan kepada kerabatnya, dan tuduhan nepotisme karena Utsman dianggap mengangkat pejabat-pejabat yang merupakan kerabatnya. Padahal, tuduhan ini terbukti tidak benar karena tidak semuanya pejabat yang diangkat merupakan kerabatnya. Selain itu, meski kerabatnya sendiri, jika pejabat tersebut melakukan kesalahan, maka Utsman tidak segan-segan untuk menghukum dan memecatnya.[19]
Sayangnya, tuduhan nepotisme itu terlalu kuat. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa Utsman melakukan nepotisme. Hal ini diperkuat dengan adanya golongan Syiah, yaitu golongan yang sangat fanatik terhadap Ali dan berharap Ali yang menjadi khalifah, bukan Utsman. Fitnah yang terus melanda Utsman inilah yang memicu kekacauan dan akhirnya menyebabkan Utsman terbunuh di rumahnya setelah dimasuki oleh sekelompok orang yang berdemonstrasi di depan rumahnya. Setelah meninggalnya Utsman, Ali lalu ditunjuk menjadi penggantinya untuk mencegah kekacauan yang lebih lanjut.

4.      FITNAH DI SEKITAR UTSMAN
Selama Utsman menjadi khalifah, utsman tidak lepas dari beberapa konflik internal antar ummat muslim sendiri, serta menjadi awal kekisruhan yang berkepanjangan  dalam tubuh ummat muslim, yang melahirkan beberapa fitnah terhadap kekhalifahan utsman bin Affan.
Diantara penyebab bersebarnya fitnah terhadap utsman antara lain, di karenakan Utsman tidak menjalankan hukum qisas terhadap Ubaidillah ibn Umar yang telah membunuh Hurmuzan, namun dihukum dengan cara membayar diyat, namun diyat tersebut dia sendiri yang membayarnya dengan hartanya[20].
Usman mempercayakan banyak urusan kenegaraan kepada family dan kaum kerabatnya, akhirnya mereka membulati segala kekauasaan di tangan kaum kerabat usmani atau umayyah. Dengan kekuasaan berada di tangan mereka, mereka melakukan kesewenang-wenagnan dalam menjalankan hukuman kepada setiap orang yang mereka curigai dan tidak sejalan dengan mereka[21].
Memasuki enam tahun masa pemerintahan Usman ibn Affan tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Utsman yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslim. Kebijakan tersebut melahirkan sebuah komunitas keluarga yang berbau nepotisme yang melahirkan kesenjangan sosial.[22]

C.     KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
1.      ALI BIN ABI THALIB SEBELUM MENJADI KHALIFAH
Abi ibnu Abi Thalib adalah seorang shahabat Rasululah saw yang mulia. Nama lengkapnya dalah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim Al-Quraisyi Al-Hasyimi[23]. Lahir dan tumbuh berkembang dalam didikan rumah tangga kenabian, dialah orang pertama yang masuk Islam dari golongan anak keci[24], sehingga dia disebut dengan ashabul awwalun (golongan orang yang pertama sekali memeluk Islam).
Dia telah mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw kecuali perng Tabuk, dia terkenal dalam ketangguhan dalam menunggang kuda dan keberanian, dia salah seorang yang diberi kabar gembira untuk memasuki surga, pada saat dirinya masih hidup, dialah kesatria umat Islam ini, amirul Mu’minin, pemimpin yang diberi petunjuk Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib Al-Qurasy Al-Hasyimy, dia memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw, sebagai anak dari paman beliau saw dan suami dari putri Rasululah saw, Fathimah ra.
Para sejarawan berpendapat bahwa kulit beliau berwarna hitam manis dan sebagian menyatakan coklat, berjenggot tebal, lelaki kekar, berwajah tampan, matanya lebar, kedua bola matanya sangat hitam, bahunya lebar, kedua tangannya kekar, kepala bagian depannya botak, berbadan besar, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek serta murah senyum.[25] Di panggi dengan sebutan Al-Hasan atau Abu Turob. Selain sebagai seorang pahlawan pemberani beliau juga seorang ulama bagi para shahabat.
Adapun bidi pekerti Ali ibn Abi Thalib, terkenal dengan keshalehannya, keadilan, toleransi dan kebersihan jiwa. Ali terhitung seorang dari tiga tokoh utama yang telah mengambil pengetahuan, budi pekerti dan kebersihan jiwa Rasulullah SAW. Tokoh utama yang dimaksud adalah Abu Bakar, Umar dan Ali, mereka bertiga diibaratkan laksana mercu suar yang memancarkan cahayanya ke segenap penjuru alam[26].
Dari sisi keilmuan, Ali ibn Abi Thalib dikenal sebagai seorang penyair, dan ahli dalam ilmu sharf dan Nahwu (struktur bahasa arab yang baik dan benar). Bahkan sejak zaman kekhalifahan Abu Bakar, Ai sudah dijadikan rujukan hukum dan tempat bertanya sebagian besar ummat tentang hukum Islam.

2.      ALI BIN ABI THALIB MENJADI KHALIFAH
Pembai’atan Ali ibn Abi Thalib menjadi khalifah tidak semulus pembai’atan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Dan sebagian besar kaum pemberontak yang menumbangkan kekuasaan Utsman justru mendaulat Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah[27].
Sehingga setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Pada dasarnya, Ali ibn Abi Thalib memiliki musuh yang banyak, diantara mereka ada yang menunjukkan permusuhan tersebut dan ada yang menyembunyikannya[28]. hal ini dikarenakan sebagian umat muslim yang ada adalah keluarga korban perperangan di zaman Rasulullah yang masuk Islam demi keselamatan dan Ali adalah salah satu pejuang dan panglima perang Rasulullah, disamping telah pecahnya kubu Hasyimiyah dan Umayyah dalam memperebutkan kekuasaan kepemerintahan.
Sehingga persoalan pertama yang dihadapi Ali sebagai khalifah adalah menyingkirkan pemberontak kekhilafahannya, yaitu Thalha dan Zubair yang mewakili kelompak Makah, keduanya memiliki pengikut di Hizaj dan Irak yang tidak mau mengakui kekhilafahan Ali, serta Aisyah yang pada mulanya tidak mencegah pemberontakan terhadap Utsman juga bergabung dengan para pemberontak khalifah di Basyra.[29] Serta keberadaan suku umayyah yang tidak rela kekuasaan pemerintahan diduduki oleh keturunan Hasyimiyah yang menuntut atas pembunuhan Utsman.[30]

3.      KEPEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB
Langkah pertama khalifah Ali ibn Abi thalib mengamankan pemerintahan sebagai khalifah adalah memindahkan pusat pemerintahan ke kufah, memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat oleh pendahulunya dan mengantikannya dengan pejabat baru serta mengambalikan harta milik baitul mall yang telah diambil alih oleh sebagian penguasa lokal[31].
Pemerintahan yang tidak setabil, tidak menyurutkan niat Khlaifah Ali untuk melaksanakan kebijakan yang mendorong peningkatan kesejahteraan ummat. Khalifah Ali menerapkan prinsip utama dalam perekonomian berupa pemerataan distribusi uang rakyat, serta menerapkan system distribusi setiap pekan[32]. Pendistribusian tersebut tidak membedakan satu kaum atas kaum lainnya, dan merupakan penerapan dari keadailan ekonomi. Sedangkan pengelolaan baitul mall tidak terdapat perubahan signifikan dari yang telah dilakukan khalifah sebelumnya.
Perlusan wilayah dalam dunia Islam, mengakibatkan berbaurnya beragam ras dan suku dalam satu wilayah namun tetap berada dibawah kepemimpinan khalifah. Sebagai khalifah yang menjunjung tinggi keadilan dan menerapkan prinsip kesetaraan ummat serta mengamalkan sunnah Rasulullah, maka Kahlifah Ali tidak membedakan kedudukan mereka dan menghapus diskriminasi antara orang arab dan orang non-arab, seperti yang terjadi pada masa kekhalifahan sebelumnya dengan landasan bahwa perbedaan hanya dikarenakan tingkat ketaqwaan.
Dan salah satu misi utama Khalifah Ali ibn Abi Thalib adalah mereformasi kebudayaan masyarakat yang telah mencintai lebih besar harta dan dunia bergeser dari mencintai dan mengikuti Agama dan sunnah. Sehingga Khlaifah Ali menempatkan upaya memberikan penjelasan tentang agama diatas upaya reformasinya dengan menghidupkan kembali, menegakkan dan kemasyarakatkan kembali sunnah Rasulullah. Khalifah Ali terkenal senantiasa mengikuti sunnah Nabi dengan sedemikian akurat sampai-sampai dalam bertindak dia mencoba berprilaku seperti Nabi Muhammad SAW[33].

4.      SIKAP ALI TERHADAP PEMBERONTAK
Dalam mempertahankan kekhalifahan yang dimanahkan kepada Ali ibn Abi Thalib dimasa yang penuh dengan konflik internal dan diawali dengan penggulingan kekuasaan Khalifah sebelumnya hingga akhirnya terbunuh oleh pemberontak, maka perperangan antara umat muslim tidak bisa dihindari, perperangan ini terjadi antara Kahlifah dan para pemberontak.
Pemberontakan ini dikarenakan perebutan kekuasaan khalifah sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan. Seperti yang telah di utarkan sebelumnya, bahwa sepeninggalan Rasulullah muncul dua kubu yang saling bersitegang, yaitu bani Umayyah dan bani Hasyim[34]. Kedua kubu ini pada dasarnya tidak dapat menduduki kursi Khalifah, hal ini dikarenakan Bani Umayyah dikenal bersikap anti Islam sedangkan Bani Hasyim sangat dibenci oleh kaum Quraisy[35] dan sangat keberatan bila Ali menjadi khalifah[36].
Pada masa khalifah Ali terjadi beberapa perperangan dan yang paling penting adalah perang Jamal dan Shiffin.
a.       Perang Jamal
Beberapa bulan menjadi khalifah, meletus perang saudara pertama pada bulan Jumadi ats-Tsani. Perang sesame muslim ini dipicu oleh sekelompok pelanggar baiat yang dipimpin oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah. Thalhah dan Zubair sangat menginginkan kursi khalifah[37], sedangkan aisyah dikabarkan masih menyimpan dendam kepada Ali. Hal ini terjadi pada masa Rasulullah masih hidup.
Disebut dengan perang Jamal dikarenakan Siti Aisyah ikut dalam perang ini dan menggendarai seekor unta. Ikut sertanya Aisyah dalam perang ini dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisayah dan unta yang dikendarainya, walaupun pada dasarnya peranan Aisyah dalam perang tidak begitu signifikan[38].
Dalam perperangan yang sengit ini, Zubir dan Thalhah terbunuh oleh pasukan Ali, sehingga perperangan dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta. Setelah unta berhasil dilumpuhkan, maka perperangan berhenti dan kemanangan berada di pihak Ali, Namun sebagai seorang pemimpin yang Arif serta berdasarkan pengalaman perang, Ali tidak mengusik Aisyah bahkan menghormati dan mengembalikannya ke Makah dengan penuh penghormatan dan kemuliaan[39].
b.      Perang Shiffin
Perang Shiffin adalah perang antara pasukan Ali ibn Abi Thalib yang merupakan khalifah yang sah dengan pasukan Mu’awiyah ibn Abi Shofyan yang mewakili suku umayyah dan merupakan gubernur syam yang tidak mau digantikan dan melawan khalifah dengan alasan menuntut tanggung jawab Ali atas terbunuhnya Utsman. Dikatakan perang ini dengan nama shiffin dikarenakan terjadi di dataran terbuka bernama shiffin, sebelah selatan raqqah, di tepi barat sungai efrat[40].
Kekuatan Mu’awiyah bersumber dari Syam, daerah yang dikuasai oleh Mu’awiyah sejak Utsman menjadi khalifah. Dengan mengusung tuntutan atas pembuhan Utsman, Mu’awiyah menghasut dan menggerakkan penduduk Syam untuk tidak mengakui dan menyetujui pembaiatan khalifah Ali ibn Abi Thalib. Beberapa cara yang dilakukan Mu’awiyah sebagai dasar kebencian terhadap Ali adalah dengan membentangkan baju gamis Utsman yang berlumuran darah serta beberapa jari istri Utsman yang telah terpotong ketika melindungi suaminya di mimbar masjid, serta menyatakan Ali melindungi para pemberontak Utsman dan para pembunuhnya[41].
Pertempuran terjadi beberapa hari lamanya, dengan pengalaman dan keahlian strategi perang yang dilakukan Ali serta keberanian pribadinya membangkitkan semangat perang pasukannya, sehingga kemenangan hampir berada di pihak Ali. Hingga Amr ibn ‘Ash[42] salah seorang pimpinan perang dari pihak Mu’awiyah yang terkenal licik dan pintar, melancarkan siasat dengan menyerukan kepada pasukan Mu’awiyah untuk mengangkat Mushaf di atas tombak, sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan senjata dan mengikuti keputusan Al-Qur’an[43].
Perperangan akhirnya berhenti, karena pasukan Ali ibn Abi Thalib terhasud dengan tawaran arbitrase yang usung oleh Amr ibn ‘Ash. Ali akhirnya mengikuti tawaran arbitrase atas desakan pasukannya, dan untuk mewakili pasukannya melakukan arbitrase Ali mengutus Abu Musa al Asy’ari. Pilihan terhadap Abu Musa juga dipandang bukan pilihan yang tepat, dikarenakan Abu Musa bukanlah pasukan ali yang loyal terhadapnya disamping pernah mengecewakan Ali[44].
Philip menyatakan sulit untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi pada perunsingan bersejarah tersebut, berbagai versi muncul dengan berbagai sumber yang berbeda. Namun, dalam semua kitab sejarah tertulis tentang penipuan yang dilakukan oleh Amr ibn ‘Ash, yaitu mengingkari kesepakan bahwa perperangan berhenti dan memberhentikan kedua pimpinan dari jabatannya.
Untuk mengumumkan keputusan ini, dilakukan dengan cara kedua utusan arbitrase maju kehadapan public dan mengumumkan pemakzulan atau penurunan kedua khalifah. Dengan berdalih Abu Musa lebih tua, maka Abu Musa disuruh untuk mengumumkan terlebih dahulu. Namun ketika giliran Amr ibn ‘Ash, dengan tipu dayanya dia menyatakan persetujuan menurunkan Ali kemudian mengumumkan penetapan Mu’awiyah sebagai khalifah[45].
Peristiwa abitrase atau tahkim ini membawa kerugian yang besar bagi Ali ibn Abi Thalib, yaitu turunnya simpati kelompok pendukungnya dan terjadi perpecahan pada kelompoknya. Kelompok Ali yang paling menentang hasil arbitrase dengan ekstrim disebut khawarij (pembelot), berkembang menjadi sekte Islam penentang yang mematikan, dengan slogan La hukma illa li Allah (Arbitrase hanya milik Allah) di bawah pimpinan ‘Abdullah ibn Wahb al-Rasibi[46].

5.      ALI IBN ABI THALIB MENINGGAL
Pada dasarnya selama Ali ibn Abi Thalib menjadi khalifah, tidak ada kestabilan politik, dampak yang paling nyata dari peperangan shiffin yang diakhiri dengan arbitrase adalah lahirnya kelompok ekstrim yang menginginkan kematian terhadap tiga tokoh yang ada dan punya andil dalam perperangan tersebut, yaitu Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abi Shofyan dan ‘Amr ibn ‘Ash
Komplotan tersebut berasal dari golongan khawarij, dan bersepakat untuk membunuh ketiga pimpinan tersebut dimalam yang sama. Abdurrahman ibn Muljam ke kufah untuk membunuh Ali, Barak ibnu Tamimi ke Syam untuk membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr ibn Bakr at-Tamimi ke Mesir untuk membunuh ‘Amar ibn Ash.
Dari ketiga orang ini, hanya Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali ibn Abi Thalib. Ibnu Muljam menusuk Ali dengan pedang ketika sedang memanggil orang untuk bersembahyang. Jamaah yang ada di mesjid tersebut berhasil menangkap ibnu Muljam, dan kemudian Ali berpulang ke Rahmatullah[47].

D.    PENUTUP
Sejarah khalifah Islam dimulai ketika Rasulullah SAW  memerintahkan agar umat Islam mengangkat seorang khalifah setelah Rasulullah wafat. Khalifat tersebut, diangkat dan di bai’at oleh umat untuk memimpin berdasarkan kitabullah serta sunnah rasul. Maka setelah Rasulullah meninggal, maka ummat muslim mengadakan pertemuan untuk mengankat seorang khalifah yang menjadi pemimpin mereka.
Tampuk kepemimpinan tersebut diambil alih oleh para sahabat terdekat Rasulullah. Khalifah yang pertama adalah Abu Bakar Shiddiq dan yang kedua adalah Umar bin Khattab, kemudian dilanjutkan dengan khalifah ketiga yaitu Utsman ibn Affan dan di tutup oleh khalifah keempat yaitu Ali ibn Abi Thalib.
Khlaifah Utsman diangkat dengan menggunakan system pemilihan formatur dan merupakan awal dari konflik kepentingan kekuasaan dalam sejarah dunia Islam. Hal ini ditandai dengan kentalnya sukuiesme dalam pemilihan dan struktur pemerintahan yang dibangun. Diantara keberhasilan usman dalam memimpin adalah semakin kuatnya armada perang dengan membuat angkatan bersenjata dan angkatan laut yang terorganisir.
Namun, isu nepotisme dan membela keluarga secara berlebihan dijadikan isu utama bagi kaum yang tidak menyukai Utsman untuk menjatuhkannya dari kepemimpinan, sehingga akhirnya Utsman dibunuh oleh para demonstran dan mendesak Ali untuk menjadi khalifah setelahnya.
Pembaiatan Ali sebagai khalifah tidak mendapat dukungan dari seluruh ummat muslim, hal ini dikarenakan adanya ambisi beberapa orang untuk menjadi khalifah disamping dengan alasan pendukung utama Ali merupakan pemberontak di masa Utsman dan terdapat di dalamnya pembunuh Utsman.
Kekacauan politik menjadi bagian dari kehidupan kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib dalam mengelola Negara. Namun, sebagai khalifah Ali tetap berusaha untuk memajukan perekonomian dan kesejahteraan rakyat dengan mendistribusikan pendapatan Negara yang merata tanpa membedakan suku dan ras serta memperkenalkan penghitungan hari pembagian jatah (gaji)
Kekacauan yang tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh Ali mendesak pemerintahannya untuk melakukan perperangan antara umat muslim, dan perperangan yang sangat terkenal adalah peran Jamal dan perang Shiffin. Dari perang Shiffin inilah lahir kubu Khawarij yang akhirnya juga membunuh Ali.



E.     DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung : Penerbit Pustaka Setia
Abdurrahman, Dudung, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Lesfi, 2009
Asy syaqawi, Amin bin Abdullah, Sirotu Ali bin Abi Thalib Radiyallahu’anhu, Islam House, 2010, Al Qodhi Abu Ya’la, Tragei terbunuhnya Utsman bin Affan. www.kampungsunnah.org
A. Syalabi, Alih bahasa : Mukhtar yahya, Sejarah dan Kebudayaan Islam,Jakarta : AL Husna Zikra, 2000
Karim, M Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007.
K. Hitti, Philip, History of the Arabs, (terj : Cecep Lukman), Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 1970, Rasul Ja’farian, Sejarah Isalam : Sejak Wafat Nabi SAW Hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah (terj: Ilyas Hasan), Jakarta : Lentera Basritama,
M.A. Shaban, Islamic History, a New Interpretation, London: Cambridge University Press, 1971.
Redha, Muhammad, Othman ibn Affan The Third Caliph, Beirut : Dar al-Kotob al-Ilmiyah
Sa’id Mursi, Muhammad, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2007



[*] Disusun dan di presentasikan oleh Amir Hidayah Siregar, SEI pada Kuliah Sejarah Peradaban Islam, Pasca Sarjana IAIN SUMATERA UTARA


[1] M Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007, hal.89.
[2] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2007, hal 16.
[3] A. Syalabi, Alih bahasa : Mukhtar yahya, Sejarah dan Kebudayaan Islam,Jakarta : AL Husna Zikra, 2000, hal 266.
[4] Muhammad Said, Tokoh – tokoh , hal 16, A. Syalabi, Sejarah , hal 266, Muhammad Redha, Othman ibn Affan The Third Caliph, Beirut : Dar al-Kotob al-Ilmiyah, hal 13.
[5] A. Syalabi, Sejarah , hal 267
[6] Muhammad Sya’id, Tokoh –Tokoh, hal 16
[8] Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terj : Cecep Lukman), Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 1970, hal 222.
[9] Ibid, hal 223
[10] Moh. Badrus Sholeh, Utsman dan Ali,
[11] Rasul Ja’farian, Sejarah Isalam : Sejak Wafat Nabi SAW Hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah (terj: Ilyas Hasan), Jakarta : Lentera Basritama, hal. 159
[12] A. Syalabi, Sejarah , Hal 271
[13] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh – tokoh, hal 18
[14] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung : Penerbit Pustaka Setia, hal, 104.
[15] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Lesfi, 2009, hal.59.
[16] Ibid, hal, 58.
[17] Rasul Ja’farian, Sejarah , hal 164.
[18] Rasul Ja’farian, Sejarah Islam, hal. 161, lihat juga M.A. Shaban, Islamic History, a New Interpretation, London: Cambridge University Press, 1971.
[19] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh – tokoh, hal 19, lihat juga dalam Rasul Ja’farain, Sejarah, hal. 166, dan A. Syalabi, Sejarah, hal 274
[20] A. Syalabi,  Sejarah, hal. 268
[21] Ibid, hal, 277
[22] Boedi Abdullah, Peradaban , hal. 104
[23] Muhammad Sa’id , Tokoh – tokoh, hal. 20
[24] Amin bin Abdullah Asy syaqawi, Sirotu Ali bin Abi Thalib Radiyallahu’anhu, Islam House, 2010, hal 3
[25] Ibid, hal 3, serta lihat juga Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh, hal 20
[26] A. Syalabi, Sejarah, hal. 282
[27] Rasul, Sejarah, hal 236
[28] A. Syalabi, Sejarah, hal 282
[29] Philip K. Hitti, History, hal. 224
[30] Muhammad Sa’id, Tokoh, hal 22, A.Syalabi, Sejarah, hal. 284,
[31] Syalabi, Sejarah, hal 286
[32] Boedi Abdullah, Peradaban, hal.109
[33] Rasul, Sejarah, hal 304
[34] Al Qodhi Abu Ya’la, Tragei terbunuhnya Utsman bin Affan, hal. 37. www.kampungsunnah.org
[35] A. Syalabi, Sejarah, hal 95
[36] Rasul, sejarah, hal 305
[37] Ibid, hal 307
[38] A. Syalabi, Sejarah, hal. 287
[39] Ibid 293
[40] Philip, History, hal.225
[41] A. Syalabi, Sejarah, hal 300
[42] Amr ibn ‘Ash adalahseorang politikus yang terkenal licik dan pintar dan masih keluarga Umayyah
[43] Philiph, hal 225, A. Syalabi, hal 301
[44] Muhammad Redha, Imam Ali Ibn Abi Taleb : The Fourth Caliph, Beirut : Dar Alkotob alIlmuyah, hal 182
[45] A. Syalabi, hal 304
[46] Philip, hal. 227
[47] A. Syalabi, hal 307

Tidak ada komentar:

Posting Komentar