KEPEMIMPINAN
KHULAFAUR RASYIDIN
(SEKILAS
TENTANG KHALIFAH USMAN DAN ALI)[*]
A.
PENDAHULUAN
Sejarah
khalifah Islam dimulai ketika Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam mengankat
seorang khalifah setelah Rasulullah wafat. Khalifat tersebut, diangkat dan di
bai’at oleh umat untuk memimpin berdasarkan kitabullah serta sunnah rasul. Maka
setelah Rasulullah meninggal, maka ummat muslim mengadakan pertemuan untuk
mengankat seorang khalifah yang menjadi pemimpin mereka, dan tampuk
kepemimpinan tersebut diambil alih oleh para sahabat Rasulullah.
Abu
Bakr As-Shiddiq, merupakan khalifah pertama yang dibai’at oleh ummat muslim dan
kemudian diteruskan oleh khalifah umar bin khattab. Sebelum khalifah umar
meninggal, Umar mengusulkan beberapa nama untuk dijadikan khalifah
penggantinya, antara lain : Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Zubair bin
Awwan, Sa’ad bin Abi Waqos, Abdurrahman ibn Auf, Thalha ibn Ubaidillah.
Setelah
rapat tertutup maka dipilihlah Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga
menggantikan Umar bin Khattab. Terbunuhnya Usman bin Affan, maka terjadikah
kekosongan pemimpin dalam dunia Islam, maka sebagian besar ummat menunjuk Ali
ibn Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya
.
Kepemimpinan
kedua khalifah terakhir ini, memiliki histori yag sangat menarik untuk dibahas
sebagai penambah khazanah keilmuan sejarah disamping kedua khalifah ini
memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW.
Sehingga dalam makalah ini, pemakalah akan mengangkat tema tentang sekelumit
kehidupan khalifah (Khulafau Ar-Rasyidin) di khusukan kepada khalifah Usman bin
Affan serta Ali ibn Abi Thalib, sebelum menjadi khalifah, ketika menjadi
khalifah dan kegiatan kepemerintahan selama menjadi pemimpin ummat tersebut.
B.
KHALIFAH
USMAN BIN AFFAN
1.
BIOGRAFI
USMAN SEBELUM MENJADI KHALIFAH
Utsman
bin Affan, yang mempunyai nama lengkap Utsman ibn Affan ibn Abdil Ash ibn
Umayyah,merupakan anak dari pasangan Affan dan Arwa. Utsman lahir pada tahun
576 H di Taif[1]
dan merupakan keturunan keluarga besar Bani Umayyah suku Quraisy. Ia berwajah
tampan, kulitnya halus dan putih, jenggotnya lebat, bagian depan kepalanya
botak, dan tangannya kekar.[2]
Dilahirkan di waktu Rasulullah SAW berusia lima tahun dan masuk agama Islam
atas seruan Abu Bakar Ash Shiddiq.[3]
Ia
mendapatkan kehormatan menikahi dua orang putri Rasulullah SAW, yaitu Ruqayyah
dan Ummi Kultsum sehingga diberi julukan Dzu al-Nurain. Pada mulanya Rasulullah
menikahkan Usman dengan putinya Ruqayyah, kemudian menikahi Ummu Kalsum setelah
Ruqayyah meninggal dunia. Ketika Ummu Kalsum meninggal, Rasullah mengatakan
kepadanya, “seandainya kami memiliki tiga, niscaya kami akan menikahkan dia kepada
anda.”[4]
Sebelum
memeluk Islam, ia sudah dikenal sebagai seorang pedagang yang kaya raya. Ia
juga mempunyai sifat-sifat mulia lainnya, seperti sederhana, jujur, cerdas,
shaleh dan dermawan. Ketika telah memeluk agama Islam, pada usia usia 34 tahun
bersama Thalhah bin Ubaidilah, selain dikenal sebagai salah seorang sahabat
terdekat nabi, ia juga dikenal sebagai seorang penulis wahyu. Ia selalu bersama
Rasulullah SAW, dan selalu mengikuti semua peperangan kecuali perang Badar
karena Rasulullah SAW memerintahkan Utsman untuk menunggui istrinya, Ruqoyyah,
yang saat itu sedang sakit keras.
Selain
Usman merupakan salah seorang sahabat terdekat Rasulallah SAW, usman juga
seorang penulis wahyu dan sekretarisnya. Ia selalu berjuang bersama Rasulallah,
Hijrah mengikuti Rasulallah SAW dan berperang pada setiap peperangan kecuali
perang Badar. Sebagai seorang hartawan Usman menghabiskan hartanya demi
Kejayaan dan penyebaran serta menjaga kaum muslim. Ia juga tidak segan-segan
menyumbangkan hartanya untuk biaya perang, maupun hal-hal lain yang berhubungan
dengan penyebaran dan kehormatan agama Islam.
2.
USMAN
DIANGKAT MENJADI KHLIFAH
Di waktu Umar kena tikam, beliau tidak bermaksud hendak mengangkat penggantinya.
Factor-faktor yang mendorong Abu bakar untuk menunjuk penggantinya sudah tidak
ada lagi. Bala tentara Islam telah mendapat kemenangan dan keadaan telah
stabil. Tetapi kaum muslimin khawatir kalau-kalau terjadi perpecahan sesudah
Umar meninggal dunia, karena itu mereka mengusulkan agar umar menunjuk siapa
yang akan menggantikan posisi sebagai khalifah.[5]
Tiga hari setelah penikaman yang
dilakukan oleh Abu Lu’lu Fairuzi Al-Farisi Al-Majusi (pembantu Mughirah ibn
Syu’bah), Umar menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelum meninggal, ia menunjuk
enam sahabat untuk memilih salah satu di antara mereka menjadi khalifah.[6]
Keenam sahabat tersebut adalah :Ali bin Abi Tholib, Usman bin Affan, Abdurahman
bin Auf, Saad bin Abi Waqos, Zubair bin Awwam dan Tholha bin Ubaidillah”.
Dalam
hal ini kalau kita pelajari iklim dan suasana dimasa itu, jelaslah Umar dalam
keadaan ragu. Beliau hendak tidak memikul tanggung jawab terhadap
kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang-orang sepeninggal beliau. Takut
keadaan kaum muslimin berpecah belah. Tetapi setelah dipikirkan matang-matang
bahwa kalau dibiarkan begitu saja ia khawatir keadaan akan menjadi kacau.
Karena dalam perang menghadapi tentara Persia dan Rumawi semua orang Arab sudah
ikut serta sehingga setiap kabilah mengaku dirinya seperti kaum Muhajirin dan
Anshar, berhak memilih khalifah. Karena itu beliau mengambil jalan tengah,
dengan membentuk Majlis Syura yang terdiri dari enam orang dengan tugas memilih
diantara mereka seorang khalifah sesudahnya.
Keseluruhan
yang direkomendasi Umar adalah orang-orang yang telah dijamin masuk surga. Setelah
menyebutkan nama-nama mereka Umar bin Khatab berkata: “ Tak ada orang yang
lebih berhak dalam hal ini daripada mereka itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam wafat sudah merasa puas terhadap mereka . siapapun yang terpilih
dialah khalifah sesudah saya” . Dari kenam tokoh yang direkomendasi Umar tak
ada satu tokohpun yang berasal dari kaum Anshor atau kabilah-kabilah Arab
lainnya, semua mereka berasal dari kaum Muhajirin dan dari kaum Quraiys, namun
tidak ada tentangan dan protes atas rekomendasi Umar tersebut.[7]
Adapun
Philip K Hitti, meyatakan bahwa penunjukan enam orang tersebut merupakan
pembentukan dewan formatur[8],
dengan ketentuan bahwa anaknya tidak boleh dipilih sebagai penggantinya.
Penunjukan dewan formatur yang disebut dengan syura (permusyawarahan) ini,
meliputi para sahabat tertua da terkemuka, memperhatikan bahwa gagasan arab
kuno tentang kepala suku telah mengalahkan gagasan tentang kerajaan turun –
temurun.
Senioritas
kesukuan kembali menjadi penentu terpilihnya Utsman (644), khalifah ketiga yang
mengungguli Ali. Utsman mewakili aristocrat Umayyah, berbeda dengan dua
pendahulunya yang mewakili kalangan muhajirin. Namun tidak seorangpun dari
ketiga khalifah ini yang mendirikan sebuah dinasti.[9]
Pada
dasarnya penentuan khalifah ketiga dengan system formatur sangatlah susah,
disamping adanya unsur fanatisme kabilah dalam sidang formatur
yang sangat berperan menentukan khalifah. Ali berasal dari Bani Hasyim
sedangkan Usman dari Bani Umayyah. Di pihak Bani Hasyim Abbas sangat
menghendaki kekhalifahan berada dikalangan keluarga Nabi. Dipihak Bani Umayyah
tidak kurang ambisinya ingin agar kekholifahan berada ditangan mereka
Pada
akhirnya kata kunci berada pada Abdurrahman bin Auf, yang menetapkan Usman
sebagai khalifah ketiga. Pemilihan ini dilakukan setelah melalui lobi dan
seleksi yang sangat ketat terhadap kedua kandidat. Penetapan ini sekecil apapun
ada pertimbangan kabilahnya. karena isteri Abdurahman bin Auf saudara seibu
Usman bin Affan.[10]
Ketika pemberian bai’at kepada Usman
berakhir pada hari terakhir bulan zulhijah 23 H, Utsman kemudian duduk di
mimbar Nabi SAW. Berbeda dengan khalifah sebelumnya, dimana Abu Bakar duduk
satu tangga di bawah tempat yang diduduki Rasulullah dan Umar duduk satu tangga
di bawah tempat yang diduduki Abu Bakar. Ketika Usman naik ke mimbar nabi,
Utsman tidak bisa berbicara apa – apa, kemudian berfikir sejenak dan kemudian
berkata “anda lebih membutuhkan seorang imam yang adil, bukan orator” setelah
itu dia turan dari mimbar dan pulang.[11]
3.
KEPEMIMPINAN
USMAN BIN AFFAN
Membahas tentang kepemimpinan, tidak lepas dari keberhasilan dan kekurangan tokoh
yang memimpin tersebut disamping keberhasilan di zaman kepemimpinannya,
demikian juga halnya dengan kepemimpinan Usman bin affan, terdapat kelebihan
dan kekurangan juga.
Utsman
bin Affan Menjabat sebagai khalifah semenjak 23-35 H atau 644-656 Masehi. Ia
merupakan khalifah yang memerintah terlama, yaitu 12 tahun. Dari segi politik,
pada masa pemerintahannya ia banyak melakukan perluasan daerah islam dan
merupakan khalifah yang paling banyak melakukan perluasan. Hal ini sebanding
dengan lamanya ia menjabat sebagai khalifah. Pada masanya, Islam telah
berkembang pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia.
Pesatnya perkembangan wilayah Islam didasarkan karena tingginya semangat dakwah
menyebarkan agama Islam. Selain itu, sikap para pendakwah Islam yang santun dan
adil membuat Islam mudah untuk diterima para penduduk wilayah-wilayah tersebut.
Selain
banyak melakukan perluasan daerah, dari segi politik, Utsman adalah khalifah
pertama yang membangun angkatan laut. Alasan pembuatan angkatan laut tersebut
masih berhubungan dengan keinginan untuk memperluas daerah Islam. Karena untuk
mencapai daerah-daerah yang akan ditaklukkan harus melalui perairan, Utsman
berinisiatif untuk membentuk angkatan laut. Selain itu, pada saat itu banyak
terjadi serangan-serangan dari laut. Hal ini semakin memperkuat alasan Utsman
untuk membentuk angkatan laut[12].
Bahkan ia juga orang yang pertama menyuruh membentuk kepolisian Negara serta
mendirikan gedung peradilan yang pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar
sidangperadilan masih diselenggarakan di Mesjid.[13]
Dari
segi ekonomi, yaitu tentang pelaksanaan baitul maal, Ustman hanya melanjutkan
pelaksanaan yang telah dilakukan pada masa sebelumnya, yaitu Abu Bakar dan
Umar. Namun, pada masa Utsman, Ia dianggap telah melakukan korupsi karena
terlalu banyak mengambil uang dari baitul maal untuk diberikan kepada
kerabat-kerabatnya. Padahal, tujuan dari pemberian uang tersebut karena Utsman
ingin menjaga tali silaturahim. Selain itu, disamping dari segi baitul maal,
Utsman juga meningkatkan pertanian. Ia memerintahkan untuk menggunakan
lahan-lahan yang tak terpakai sebagai lahan pertanian.
Dari
segi pajak, Utsman, sama seperti dari segi baitul maal, melanjutkan perpajakan
yang telah ada pada masa Umar. Namun sayangnya, pada masa Utsman pemberlakuan
pajak tidak berjalan baik sebagaimana ketika masa Umar. Pada masa Utsman, demi
memperlancar ekonomi dalam hal perdagangan, ia banyak melakukan perbaikan
fasilitas, seperti perbaikan jalan-jalan dan sebagainya.
Dalam
hal pengelolaan zakat, Khalifah mendeligasikan kewenangan menaksir harga yang
dizakati kepada para pemiliknya. Hal ini untuk mengamankan zakat dari berbagai
gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh berbagai
oknum pengumpul zakat[14].
Dari
dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam. Dengan adanya perluasan wilayah, maka banyak para
sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan agama Islam.
Selain itu, adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli dengan para
sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik[15].
Dari segi sosial budaya, Utsman juga membangun mahkamah peradilan. Hal ini
merupakan sebuah terobosan, karena sebelumnya peradilan dilakukan di mesjid.
Utsman juga melakukan penyeragaman bacaan Al Qur’an juga perluasan Mesjid Haram
dan Mesjid Nabawi.
Penyeragaman bacaan
dilakukan karena pada masa Rasulullah Saw, Beliau memberikan kelonggaran kepada
kabilah-kabilah Arab untuk membaca dan menghafalkan Al Qur’an menurut lahjah
(dialek) masing-masing. Seiring bertambahnya wilayah Islam, dan banyaknya
bangsa-bangsa yang memeluk agama Islam, pembacaan pun menjadi semakin
bervariasi[16].Akhirnya
sahabat Huzaifah bin Yaman mengusulkan kepada Utsman untuk menyeragamkan
bacaan. Utsman pun lalu membentuk panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit
untuk menyalin mushaf yang disimpan oleh Hafsah dan menyeragamkan bacaan
Qur’an, serta membakar semua jenis al-Quran yang ada dan Ali ibn Abi Thalib
pada dasarnya memberikan persetujuan resminya akan hal tersebut[17].
Perluasan
Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi dilakukan karena semakin bertambah banyaknya
umat muslim yang melaksanakan haji setiap tahunnya. Adapun pendanaan untuk
perluasan ini, tercatat oleh ahli sejarah didanai sendiri oleh khalifah Utsman
Para
pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua periode, enam
tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir
adalah merupakan masa pemerintahan yang buruk[18].
Pada akhir pemerintahan Utsman, terjadi banyak konflik, seperti tuduhan
nepotisme dan tuduhan pemborosan uang Negara. Tuduhan pemborosan uang Negara
karena Utsman dianggap terlalu boros mengambil uang baitul maal untuk diberikan
kepada kerabatnya, dan tuduhan nepotisme karena Utsman dianggap mengangkat
pejabat-pejabat yang merupakan kerabatnya. Padahal, tuduhan ini terbukti tidak
benar karena tidak semuanya pejabat yang diangkat merupakan kerabatnya. Selain
itu, meski kerabatnya sendiri, jika pejabat tersebut melakukan kesalahan, maka
Utsman tidak segan-segan untuk menghukum dan memecatnya.[19]
Sayangnya,
tuduhan nepotisme itu terlalu kuat. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa
Utsman melakukan nepotisme. Hal ini diperkuat dengan adanya golongan Syiah,
yaitu golongan yang sangat fanatik terhadap Ali dan berharap Ali yang menjadi
khalifah, bukan Utsman. Fitnah yang terus melanda Utsman inilah yang memicu
kekacauan dan akhirnya menyebabkan Utsman terbunuh di rumahnya setelah dimasuki
oleh sekelompok orang yang berdemonstrasi di depan rumahnya. Setelah meninggalnya
Utsman, Ali lalu ditunjuk menjadi penggantinya untuk mencegah kekacauan yang
lebih lanjut.
4.
FITNAH
DI SEKITAR UTSMAN
Selama Utsman menjadi khalifah,
utsman tidak lepas dari beberapa konflik internal antar ummat muslim sendiri,
serta menjadi awal kekisruhan yang berkepanjangan dalam tubuh ummat muslim, yang melahirkan
beberapa fitnah terhadap kekhalifahan utsman bin Affan.
Diantara penyebab bersebarnya fitnah
terhadap utsman antara lain, di karenakan Utsman tidak menjalankan hukum qisas
terhadap Ubaidillah ibn Umar yang telah membunuh Hurmuzan, namun dihukum dengan
cara membayar diyat, namun diyat tersebut dia sendiri yang membayarnya dengan
hartanya[20].
Usman mempercayakan banyak urusan
kenegaraan kepada family dan kaum kerabatnya, akhirnya mereka membulati segala
kekauasaan di tangan kaum kerabat usmani atau umayyah. Dengan kekuasaan berada
di tangan mereka, mereka melakukan kesewenang-wenagnan dalam menjalankan
hukuman kepada setiap orang yang mereka curigai dan tidak sejalan dengan mereka[21].
Memasuki enam tahun masa
pemerintahan Usman ibn Affan tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang
cukup signifikan. Berbagai kebijakan Utsman yang banyak menguntungkan
keluarganya telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian
besar kaum muslim. Kebijakan tersebut melahirkan sebuah komunitas keluarga yang
berbau nepotisme yang melahirkan kesenjangan sosial.[22]
C.
KHALIFAH
ALI BIN ABI THALIB
1.
ALI
BIN ABI THALIB SEBELUM MENJADI KHALIFAH
Abi ibnu Abi Thalib adalah seorang
shahabat Rasululah saw yang mulia. Nama lengkapnya dalah Ali ibn Abi Thalib ibn
Abdul Muthalib ibn Hasyim Al-Quraisyi Al-Hasyimi[23].
Lahir dan tumbuh berkembang dalam didikan rumah tangga kenabian, dialah orang
pertama yang masuk Islam dari golongan anak keci[24],
sehingga dia disebut dengan ashabul awwalun (golongan orang yang pertama
sekali memeluk Islam).
Dia telah mengikuti semua peperangan
bersama Rasululah saw kecuali perng Tabuk, dia terkenal dalam ketangguhan dalam
menunggang kuda dan keberanian, dia salah seorang yang diberi kabar gembira
untuk memasuki surga, pada saat dirinya masih hidup, dialah kesatria umat Islam
ini, amirul Mu’minin, pemimpin yang diberi petunjuk Ali bin Abi Thalib bin
Abdul Muththalib Al-Qurasy Al-Hasyimy, dia memiliki hubungan kekerabatan dengan
Nabi saw, sebagai anak dari paman beliau saw dan suami dari putri Rasululah
saw, Fathimah ra.
Para sejarawan berpendapat bahwa
kulit beliau berwarna hitam manis dan sebagian menyatakan coklat, berjenggot
tebal, lelaki kekar, berwajah tampan, matanya lebar, kedua bola matanya sangat
hitam, bahunya lebar, kedua tangannya kekar, kepala bagian depannya botak,
berbadan besar, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek serta murah
senyum.[25]
Di panggi dengan sebutan Al-Hasan atau Abu Turob. Selain sebagai seorang
pahlawan pemberani beliau juga seorang ulama bagi para shahabat.
Adapun bidi pekerti Ali ibn Abi
Thalib, terkenal dengan keshalehannya, keadilan, toleransi dan kebersihan jiwa.
Ali terhitung seorang dari tiga tokoh utama yang telah mengambil pengetahuan,
budi pekerti dan kebersihan jiwa Rasulullah SAW. Tokoh utama yang dimaksud
adalah Abu Bakar, Umar dan Ali, mereka bertiga diibaratkan laksana mercu suar
yang memancarkan cahayanya ke segenap penjuru alam[26].
Dari sisi keilmuan, Ali ibn Abi
Thalib dikenal sebagai seorang penyair, dan ahli dalam ilmu sharf dan Nahwu
(struktur bahasa arab yang baik dan benar). Bahkan sejak zaman kekhalifahan Abu
Bakar, Ai sudah dijadikan rujukan hukum dan tempat bertanya sebagian besar
ummat tentang hukum Islam.
2.
ALI
BIN ABI THALIB MENJADI KHALIFAH
Pembai’atan Ali ibn Abi Thalib menjadi khalifah tidak semulus
pembai’atan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah
suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan, pertentangan dan
kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Dan sebagian besar kaum
pemberontak yang menumbangkan kekuasaan Utsman justru mendaulat Ali agar
bersedia dibai’at menjadi khalifah[27].
Sehingga setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat
Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama
masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit
pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki
jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia
yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia
juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem
distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah
diterapkan Umar.
Pada dasarnya, Ali ibn Abi Thalib memiliki musuh yang banyak,
diantara mereka ada yang menunjukkan permusuhan tersebut dan ada yang
menyembunyikannya[28].
hal ini dikarenakan sebagian umat muslim yang ada adalah keluarga korban
perperangan di zaman Rasulullah yang masuk Islam demi keselamatan dan Ali
adalah salah satu pejuang dan panglima perang Rasulullah, disamping telah
pecahnya kubu Hasyimiyah dan Umayyah dalam memperebutkan kekuasaan
kepemerintahan.
Sehingga persoalan pertama yang dihadapi Ali sebagai khalifah
adalah menyingkirkan pemberontak kekhilafahannya, yaitu Thalha dan Zubair yang
mewakili kelompak Makah, keduanya memiliki pengikut di Hizaj dan Irak yang
tidak mau mengakui kekhilafahan Ali, serta Aisyah yang pada mulanya tidak
mencegah pemberontakan terhadap Utsman juga bergabung dengan para pemberontak
khalifah di Basyra.[29]
Serta keberadaan suku umayyah yang tidak rela kekuasaan pemerintahan diduduki
oleh keturunan Hasyimiyah yang menuntut atas pembunuhan Utsman.[30]
3.
KEPEMIMPINAN
ALI BIN ABI THALIB
Langkah pertama khalifah Ali ibn Abi
thalib mengamankan pemerintahan sebagai khalifah adalah memindahkan pusat
pemerintahan ke kufah, memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat
oleh pendahulunya dan mengantikannya dengan pejabat baru serta mengambalikan
harta milik baitul mall yang telah diambil alih oleh sebagian penguasa
lokal[31].
Pemerintahan yang tidak setabil,
tidak menyurutkan niat Khlaifah Ali untuk melaksanakan kebijakan yang mendorong
peningkatan kesejahteraan ummat. Khalifah Ali menerapkan prinsip utama dalam
perekonomian berupa pemerataan distribusi uang rakyat, serta menerapkan system
distribusi setiap pekan[32].
Pendistribusian tersebut tidak membedakan satu kaum atas kaum lainnya, dan
merupakan penerapan dari keadailan ekonomi. Sedangkan pengelolaan baitul mall
tidak terdapat perubahan signifikan dari yang telah dilakukan khalifah
sebelumnya.
Perlusan wilayah dalam dunia Islam,
mengakibatkan berbaurnya beragam ras dan suku dalam satu wilayah namun tetap
berada dibawah kepemimpinan khalifah. Sebagai khalifah yang menjunjung tinggi
keadilan dan menerapkan prinsip kesetaraan ummat serta mengamalkan sunnah
Rasulullah, maka Kahlifah Ali tidak membedakan kedudukan mereka dan menghapus
diskriminasi antara orang arab dan orang non-arab, seperti yang terjadi pada
masa kekhalifahan sebelumnya dengan landasan bahwa perbedaan hanya dikarenakan
tingkat ketaqwaan.
Dan salah satu misi utama Khalifah
Ali ibn Abi Thalib adalah mereformasi kebudayaan masyarakat yang telah
mencintai lebih besar harta dan dunia bergeser dari mencintai dan mengikuti
Agama dan sunnah. Sehingga Khlaifah Ali menempatkan upaya memberikan penjelasan
tentang agama diatas upaya reformasinya dengan menghidupkan kembali, menegakkan
dan kemasyarakatkan kembali sunnah Rasulullah. Khalifah Ali terkenal senantiasa
mengikuti sunnah Nabi dengan sedemikian akurat sampai-sampai dalam bertindak
dia mencoba berprilaku seperti Nabi Muhammad SAW[33].
4.
SIKAP
ALI TERHADAP PEMBERONTAK
Dalam mempertahankan kekhalifahan
yang dimanahkan kepada Ali ibn Abi Thalib dimasa yang penuh dengan konflik
internal dan diawali dengan penggulingan kekuasaan Khalifah sebelumnya hingga
akhirnya terbunuh oleh pemberontak, maka perperangan antara umat muslim tidak
bisa dihindari, perperangan ini terjadi antara Kahlifah dan para pemberontak.
Pemberontakan ini dikarenakan
perebutan kekuasaan khalifah sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan. Seperti
yang telah di utarkan sebelumnya, bahwa sepeninggalan Rasulullah muncul dua
kubu yang saling bersitegang, yaitu bani Umayyah dan bani Hasyim[34].
Kedua kubu ini pada dasarnya tidak dapat menduduki kursi Khalifah, hal ini
dikarenakan Bani Umayyah dikenal bersikap anti Islam sedangkan Bani Hasyim
sangat dibenci oleh kaum Quraisy[35]
dan sangat keberatan bila Ali menjadi khalifah[36].
Pada masa khalifah Ali terjadi
beberapa perperangan dan yang paling penting adalah perang Jamal dan Shiffin.
a.
Perang
Jamal
Beberapa
bulan menjadi khalifah, meletus perang saudara pertama pada bulan Jumadi
ats-Tsani. Perang sesame muslim ini dipicu oleh sekelompok pelanggar baiat yang
dipimpin oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah. Thalhah dan Zubair sangat
menginginkan kursi khalifah[37],
sedangkan aisyah dikabarkan masih menyimpan dendam kepada Ali. Hal ini terjadi
pada masa Rasulullah masih hidup.
Disebut
dengan perang Jamal dikarenakan Siti Aisyah ikut dalam perang ini dan
menggendarai seekor unta. Ikut sertanya Aisyah dalam perang ini dipandang
sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan
Aisayah dan unta yang dikendarainya, walaupun pada dasarnya peranan Aisyah
dalam perang tidak begitu signifikan[38].
Dalam
perperangan yang sengit ini, Zubir dan Thalhah terbunuh oleh pasukan Ali,
sehingga perperangan dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta. Setelah unta
berhasil dilumpuhkan, maka perperangan berhenti dan kemanangan berada di pihak
Ali, Namun sebagai seorang pemimpin yang Arif serta berdasarkan pengalaman
perang, Ali tidak mengusik Aisyah bahkan menghormati dan mengembalikannya ke
Makah dengan penuh penghormatan dan kemuliaan[39].
b.
Perang
Shiffin
Perang
Shiffin adalah perang antara pasukan Ali ibn Abi Thalib yang merupakan khalifah
yang sah dengan pasukan Mu’awiyah ibn Abi Shofyan yang mewakili suku umayyah
dan merupakan gubernur syam yang tidak mau digantikan dan melawan khalifah
dengan alasan menuntut tanggung jawab Ali atas terbunuhnya Utsman. Dikatakan
perang ini dengan nama shiffin dikarenakan terjadi di dataran terbuka bernama
shiffin, sebelah selatan raqqah, di tepi barat sungai efrat[40].
Kekuatan
Mu’awiyah bersumber dari Syam, daerah yang dikuasai oleh Mu’awiyah sejak Utsman
menjadi khalifah. Dengan mengusung tuntutan atas pembuhan Utsman, Mu’awiyah
menghasut dan menggerakkan penduduk Syam untuk tidak mengakui dan menyetujui
pembaiatan khalifah Ali ibn Abi Thalib. Beberapa cara yang dilakukan Mu’awiyah
sebagai dasar kebencian terhadap Ali adalah dengan membentangkan baju gamis Utsman
yang berlumuran darah serta beberapa jari istri Utsman yang telah terpotong
ketika melindungi suaminya di mimbar masjid, serta menyatakan Ali melindungi
para pemberontak Utsman dan para pembunuhnya[41].
Pertempuran
terjadi beberapa hari lamanya, dengan pengalaman dan keahlian strategi perang
yang dilakukan Ali serta keberanian pribadinya membangkitkan semangat perang
pasukannya, sehingga kemenangan hampir berada di pihak Ali. Hingga Amr ibn ‘Ash[42]
salah seorang pimpinan perang dari pihak Mu’awiyah yang terkenal licik dan
pintar, melancarkan siasat dengan menyerukan kepada pasukan Mu’awiyah untuk
mengangkat Mushaf di atas tombak, sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan
senjata dan mengikuti keputusan Al-Qur’an[43].
Perperangan
akhirnya berhenti, karena pasukan Ali ibn Abi Thalib terhasud dengan tawaran
arbitrase yang usung oleh Amr ibn ‘Ash. Ali akhirnya mengikuti tawaran
arbitrase atas desakan pasukannya, dan untuk mewakili pasukannya melakukan
arbitrase Ali mengutus Abu Musa al Asy’ari. Pilihan terhadap Abu Musa juga
dipandang bukan pilihan yang tepat, dikarenakan Abu Musa bukanlah pasukan ali
yang loyal terhadapnya disamping pernah mengecewakan Ali[44].
Philip
menyatakan sulit untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi pada
perunsingan bersejarah tersebut, berbagai versi muncul dengan berbagai sumber
yang berbeda. Namun, dalam semua kitab sejarah tertulis tentang penipuan yang
dilakukan oleh Amr ibn ‘Ash, yaitu mengingkari kesepakan bahwa perperangan
berhenti dan memberhentikan kedua pimpinan dari jabatannya.
Untuk
mengumumkan keputusan ini, dilakukan dengan cara kedua utusan arbitrase maju
kehadapan public dan mengumumkan pemakzulan atau penurunan kedua khalifah.
Dengan berdalih Abu Musa lebih tua, maka Abu Musa disuruh untuk mengumumkan
terlebih dahulu. Namun ketika giliran Amr ibn ‘Ash, dengan tipu dayanya dia
menyatakan persetujuan menurunkan Ali kemudian mengumumkan penetapan Mu’awiyah
sebagai khalifah[45].
Peristiwa
abitrase atau tahkim ini membawa kerugian yang besar bagi Ali ibn Abi Thalib,
yaitu turunnya simpati kelompok pendukungnya dan terjadi perpecahan pada
kelompoknya. Kelompok Ali yang paling menentang hasil arbitrase dengan ekstrim
disebut khawarij (pembelot), berkembang menjadi sekte Islam penentang yang
mematikan, dengan slogan La hukma illa li Allah (Arbitrase hanya milik Allah)
di bawah pimpinan ‘Abdullah ibn Wahb al-Rasibi[46].
5.
ALI
IBN ABI THALIB MENINGGAL
Pada dasarnya selama Ali ibn Abi
Thalib menjadi khalifah, tidak ada kestabilan politik, dampak yang paling nyata
dari peperangan shiffin yang diakhiri dengan arbitrase adalah lahirnya kelompok
ekstrim yang menginginkan kematian terhadap tiga tokoh yang ada dan punya andil
dalam perperangan tersebut, yaitu Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abi Shofyan
dan ‘Amr ibn ‘Ash
Komplotan tersebut berasal dari
golongan khawarij, dan bersepakat untuk membunuh ketiga pimpinan tersebut
dimalam yang sama. Abdurrahman ibn Muljam ke kufah untuk membunuh Ali, Barak
ibnu Tamimi ke Syam untuk membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr ibn Bakr at-Tamimi ke
Mesir untuk membunuh ‘Amar ibn Ash.
Dari ketiga orang ini, hanya Ibnu
Muljam yang berhasil membunuh Ali ibn Abi Thalib. Ibnu Muljam menusuk Ali
dengan pedang ketika sedang memanggil orang untuk bersembahyang. Jamaah yang
ada di mesjid tersebut berhasil menangkap ibnu Muljam, dan kemudian Ali
berpulang ke Rahmatullah[47].
D.
PENUTUP
Sejarah khalifah Islam dimulai
ketika Rasulullah SAW memerintahkan agar
umat Islam mengangkat seorang khalifah setelah Rasulullah wafat. Khalifat
tersebut, diangkat dan di bai’at oleh umat untuk memimpin berdasarkan
kitabullah serta sunnah rasul. Maka setelah Rasulullah meninggal, maka ummat
muslim mengadakan pertemuan untuk mengankat seorang khalifah yang menjadi pemimpin
mereka.
Tampuk kepemimpinan tersebut diambil
alih oleh para sahabat terdekat Rasulullah. Khalifah yang pertama adalah Abu
Bakar Shiddiq dan yang kedua adalah Umar bin Khattab, kemudian dilanjutkan
dengan khalifah ketiga yaitu Utsman ibn Affan dan di tutup oleh khalifah
keempat yaitu Ali ibn Abi Thalib.
Khlaifah Utsman diangkat dengan
menggunakan system pemilihan formatur dan merupakan awal dari konflik
kepentingan kekuasaan dalam sejarah dunia Islam. Hal ini ditandai dengan kentalnya
sukuiesme dalam pemilihan dan struktur pemerintahan yang dibangun. Diantara
keberhasilan usman dalam memimpin adalah semakin kuatnya armada perang dengan
membuat angkatan bersenjata dan angkatan laut yang terorganisir.
Namun, isu nepotisme dan membela
keluarga secara berlebihan dijadikan isu utama bagi kaum yang tidak menyukai
Utsman untuk menjatuhkannya dari kepemimpinan, sehingga akhirnya Utsman dibunuh
oleh para demonstran dan mendesak Ali untuk menjadi khalifah setelahnya.
Pembaiatan Ali sebagai khalifah
tidak mendapat dukungan dari seluruh ummat muslim, hal ini dikarenakan adanya
ambisi beberapa orang untuk menjadi khalifah disamping dengan alasan pendukung
utama Ali merupakan pemberontak di masa Utsman dan terdapat di dalamnya
pembunuh Utsman.
Kekacauan politik menjadi bagian
dari kehidupan kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib dalam mengelola Negara. Namun,
sebagai khalifah Ali tetap berusaha untuk memajukan perekonomian dan
kesejahteraan rakyat dengan mendistribusikan pendapatan Negara yang merata tanpa
membedakan suku dan ras serta memperkenalkan penghitungan hari pembagian jatah
(gaji)
Kekacauan yang tidak dapat dikontrol
sepenuhnya oleh Ali mendesak pemerintahannya untuk melakukan perperangan antara
umat muslim, dan perperangan yang sangat terkenal adalah peran Jamal dan perang
Shiffin. Dari perang Shiffin inilah lahir kubu Khawarij yang akhirnya juga
membunuh Ali.
E.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Boedi,
Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung : Penerbit Pustaka Setia
Abdurrahman,
Dudung, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Lesfi, 2009
Asy syaqawi, Amin bin Abdullah, Sirotu Ali bin Abi Thalib
Radiyallahu’anhu, Islam House, 2010, Al Qodhi Abu Ya’la, Tragei terbunuhnya
Utsman bin Affan. www.kampungsunnah.org
A. Syalabi, Alih bahasa : Mukhtar yahya, Sejarah dan Kebudayaan
Islam,Jakarta : AL Husna Zikra, 2000
Karim, M Abdul,
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book
Publisher, 2007.
K. Hitti, Philip, History of the Arabs, (terj : Cecep
Lukman), Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 1970, Rasul Ja’farian, Sejarah
Isalam : Sejak Wafat Nabi SAW Hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah (terj:
Ilyas Hasan), Jakarta : Lentera Basritama,
M.A. Shaban, Islamic History, a New Interpretation, London:
Cambridge University Press, 1971.
Redha, Muhammad, Othman ibn Affan The Third Caliph, Beirut :
Dar al-Kotob al-Ilmiyah
Sa’id Mursi, Muhammad, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,
Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2007
Sholeh, Moh.
Badrus, UTSMAN DAN ALI : AKAR KONFLIK POLITIK
DAN TEOLOGI, www http://badrussholeh_jember.guru-indonesia.net/artikel_detail-14853.html download pada 29 Maret 2012
[*]
Disusun dan di presentasikan oleh Amir Hidayah Siregar, SEI pada Kuliah Sejarah
Peradaban Islam, Pasca Sarjana IAIN SUMATERA UTARA
[1] M Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007, hal.89.
[2] Muhammad Sa’id
Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta : Pustaka Al
Kautsar, 2007, hal 16.
[3] A. Syalabi,
Alih bahasa : Mukhtar yahya, Sejarah dan Kebudayaan Islam,Jakarta : AL
Husna Zikra, 2000, hal 266.
[4] Muhammad Said,
Tokoh – tokoh , hal 16, A. Syalabi, Sejarah , hal 266, Muhammad
Redha, Othman ibn Affan The Third Caliph, Beirut : Dar al-Kotob
al-Ilmiyah, hal 13.
[5] A. Syalabi, Sejarah
, hal 267
[6] Muhammad
Sya’id, Tokoh –Tokoh, hal 16
[7] Moh. Badrus Sholeh, UTSMAN DAN ALI : AKAR KONFLIK POLITIK DAN TEOLOGI, www http://badrussholeh_jember.guru-indonesia.net/artikel_detail-14853.html download pada
29 Maret 2012
[8] Philip K.
Hitti, History of the Arabs, (terj : Cecep Lukman), Jakarta : Serambi
Ilmu Semesta, 1970, hal 222.
[9] Ibid, hal 223
[11] Rasul
Ja’farian, Sejarah Isalam : Sejak Wafat Nabi SAW Hingga Runtuhnya Dinasti
Bani Umayyah (terj: Ilyas Hasan), Jakarta : Lentera Basritama, hal. 159
[12] A. Syalabi,
Sejarah , Hal 271
[13] Muhammad Sa’id
Mursi, Tokoh – tokoh, hal 18
[16] Ibid, hal, 58.
[17] Rasul
Ja’farian, Sejarah , hal 164.
[18] Rasul
Ja’farian, Sejarah Islam, hal. 161, lihat juga M.A. Shaban, Islamic
History, a New Interpretation, London: Cambridge University Press, 1971.
[19] Muhammad Sa’id
Mursi, Tokoh – tokoh, hal 19, lihat juga dalam Rasul Ja’farain, Sejarah,
hal. 166, dan A. Syalabi, Sejarah, hal 274
[20] A.
Syalabi, Sejarah, hal. 268
[21] Ibid, hal, 277
[22] Boedi
Abdullah, Peradaban , hal. 104
[23] Muhammad Sa’id
, Tokoh – tokoh, hal. 20
[24] Amin bin
Abdullah Asy syaqawi, Sirotu Ali bin Abi Thalib Radiyallahu’anhu, Islam
House, 2010, hal 3
[25] Ibid, hal 3,
serta lihat juga Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh, hal 20
[26] A. Syalabi, Sejarah,
hal. 282
[27] Rasul, Sejarah,
hal 236
[28] A. Syalabi, Sejarah,
hal 282
[29] Philip K.
Hitti, History, hal. 224
[30] Muhammad
Sa’id, Tokoh, hal 22, A.Syalabi, Sejarah, hal. 284,
[31] Syalabi, Sejarah,
hal 286
[32] Boedi
Abdullah, Peradaban, hal.109
[33] Rasul, Sejarah,
hal 304
[34] Al Qodhi Abu
Ya’la, Tragei terbunuhnya Utsman bin Affan, hal. 37.
www.kampungsunnah.org
[35] A. Syalabi, Sejarah,
hal 95
[36] Rasul, sejarah,
hal 305
[37] Ibid, hal 307
[38] A. Syalabi, Sejarah,
hal. 287
[39] Ibid 293
[40] Philip, History,
hal.225
[41] A. Syalabi, Sejarah,
hal 300
[42] Amr ibn ‘Ash
adalahseorang politikus yang terkenal licik dan pintar dan masih keluarga
Umayyah
[43] Philiph, hal
225, A. Syalabi, hal 301
[44] Muhammad
Redha, Imam Ali Ibn Abi Taleb : The Fourth Caliph,
Beirut : Dar Alkotob alIlmuyah, hal 182
[45] A. Syalabi,
hal 304
[46] Philip, hal.
227
[47] A. Syalabi,
hal 307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar