AlQur’an
diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang
bertaqwa. Bahkan juga menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim
atau tidak. Selain sebagai petujuk, alQur’an juga menjadi penjelas bagi
petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, yang salah dan yang
benar. Kedudukan sebagai petunjuk hidup, maka alQur’an harus dipahami oleh umat
manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat yang namanya
ilmu tafsir.
Ilmu
tafsir berperan menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat alQur’an,
mengingat alQur’an diturunkan selain dengan gaya bahasa yang sangat tinggi,
juga terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih. Dalam hal ini para ulama’
sering mengklaim bahwa alQur’an diturunkan dengan kalimat yang ringkas namun
membawa unsur-unsur uslub (gaya) bahasa yang padat makna sehingga
membuat para ahli bahasa zaman dahulu (bahkan sampai sekarang) tidak mampu
menandingi alQur’an. Selain itu, juga tidak setiap orang memiliki kompetensi
untuk menafsirkan alQur’an.
Pada
abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat
alQur’an. Namun pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat
bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat alQur’an selama ia memiliki
syarat-syarat tertentu seperti : pengetahuan bahasa yang mencakup Nahwu,
Sharaf, Balaghah, juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira’ah,
Asbab al- Nuzul, Nasikh- Mansukh, dan lain sebagainya.
Makalah
ini akan membahas tentang tafsir bi ar-ra’yi. Di awali dengan membahas
defenisi tafsir bi ar ra’yi dan perkembangannya, pembagian tafsir bi
ar ra’yi, pendapat Ulama serta beberapa ketentuan tafsir bi ar-ra’yi.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir bi al-Ra’yi dan Sejarah Perkembangannya
Tafsir bi al-ra’yi berasal
dari kata perpaduan dua kata, yaitu tafsir, dan al-ra’yi. Tafsir
secara bahasa berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan
makna yang abstrak atau penjelasan[1].
Tafsir menurut istilah ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makan-makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya[2].
Adapun
tafsir alQuran, sebagaimana yang di defenisikan oleh Nashruddin adalah
penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari
ayat-ayat alQuran.[3]
Berdasarkan defenisi yang diutarakan diatas, sehingga dapat diketahui bahwa
menafsirkan alQur’an adalah menjelaskan dan menerangkan makna-makna yang sulit
dipahami dari ayat-ayat AlQur’an tersebut.
Kata
al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad.
Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara
Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir
terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah
(pembuktian) dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai
pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh,
qira’at dan lain-lain.
Adapu
al-ra’yu secara semantik berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi
juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian semantik
tersebut, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi
al-ra’yi adalah menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang
dilakukan oleh akal. Corak ini dinamakan juga dengan al- Tafsir bi
al-Ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran
seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir.
Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin
terjadi, dibandingkan al- Tafsir bi al-ma’tsur.
Dengan
demikian, tafsir bi al ra’yi, sebagaimana didefinisikan oleh al-Dzahabi
ialah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir
setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan,
serta problema penafsiran, seperti asbab al-nuzul dan nasikh wal al-mansukh.[4] Bentuk tafsir ini disebut juga tafsir bi
al-dirayah atau tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan
ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in.
Pemenerimaan
tafsir corak ini didasarkan atas ayat-ayat al-Qur’an sendiri, yang menurut
mereka, memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungannya.
Adapun ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir corak ini, sebagaimana yang
dikutip Shubhi al-Shalih, adalah sebagai berikut.[5]
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا ﴿٢٤﴾
Artinya :
“Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci”.
(Q.S. Muhammad: 24).
كِتَابٌ
أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ
أُوْلُوا الْأَلْبَابِ ﴿٢٩﴾
Artinya: “Ini
adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, agar mereka
memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang mempunyai pikiran dapat memperoleh
pelajaran darinya”. (Q.S. as-Shad: 29).
Jika
ditelusuri perkembangan tafsir Alquran sejak dulu sampai sekarang, akan
ditemukan bahwa dalam garis besarnya, penafsiran Alquran itu dilakukan melalui
empat cara (metode), yaitu : ijmali (global), tahlili (analitis),
muqarin (perbandingan), dan maudhu‟I (tematik)[6].
Nabi
dan para sahabat menafsirkan Alquran secara ijmali, tidak memberikan
rincian yang memadai. Oleh karena itu, di dalam tafsir mereka pada umumnya
sukar ditemukan uraian yang detail. Dengan demikian, tidak salah bila dikatakan
bahwa bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir Alquran yang pertama
kali muncul.
Pada
peride berikutnya, muncullah metode tahlili dengan mengambil bentuk bi
al-ma‟tsur yang selanjutnya berkembang dengan bentuk bi al-ra‟yi[7].
Tafsir bi al-ra‟yi ini muncul sebagai corak penafsiran belakangan, yaitu
setelah munculnya tafsir bi al-ma‟tsur, walaupun sebelumnya, ra‟y dalam
pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Alquran.
Terutama, bilamana kita tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa
sahabat adalah ijtihad[8].
Diantara
sahabat yang termasuk kelompok mufassir bi ra’yi adalah : Abu Bakar Shiddiq,
Umar ibn Al khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn
Mas’ud. Secara formal corak ini telah melembaga sebagai madrasah al tafsir bi
ar ra’y masa itu yang ditangani langsung oleh Abdullah ibn Abbas[9].
Di
antara penyebab kemunculan corak tafsir bi al-ra‟yi adalah semakin
majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin
ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar-pakar di
bidangnnya masing-masing. Pada akhirnya, karya tafsir seorang mufassir sangat
diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Itulah salah satu
factor yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra‟y dengan metode analitis,
dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam, seperti figh, falsafi,
sufi „ilm, adabi ijtima‟ i[10].
Perlu
dijelaskan, meskipun mufassir dalam hal ini menggunakan pemikiran, namun ia
tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari pemahamannya terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi
pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran cara ini. Karena itu,
dalam menggunakan corak tafsir ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan
kaedah-kaedah penafsiran yang ketat, antara lain:[11]
1.
Memiliki
pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.
2.
Menguasai
ilmu-ilmu alQur’an.
3.
Menguasai
ilmu- ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu alQur’an, seperti hadis, Ushul
fiqh dan lain sebagainya.
4.
Beraqidah
yang benar.
5.
Mengetahui
prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6.
Menguasai
ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
B.
Klasifikasi Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir
bi al-ra’yi juga dibagi menjadi dua; tafsir bi al-ra’yi al-madzmum (yang
tercela) dan al-mahmud (yang terpuji)[12].
Pada mulanya seluruh tafsir bi al-ra’yi adalah tercela. Hal ini karena
adanya hadits yang melarang penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yi. Namun
pada abad kelima hijriyah, karena kebutuhan dan tuntutan zaman, ada
kampanye untuk membentuk opini bahwa tidak semua tafsir bi al-ra’yi tercela,
ada juga yang terpuji, yaitu tafsir bi al-ra’yi yang berdasarkan dalil.
Pada
hakikatnya perbedaan itu berkisar sekitar apakah penafsiran yang dilakukan
melalui pendapat akal semata tanpa memperhatikan kaedah-kaedah bahasa,
prinsip-prinsip Syara’ dan lain sebagainya. Hal ini dapat dikatakan telah
memenuhi apa yang dikehendaki Allah SWT. Namun, apabila penggunaan akal
tersebut disertai dengan syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang mufassir,
maka tidak ada halangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu. Bahkan
al-Qur’an sangat menganjurkan untuk mempergunakan ijtihad dalam memahami
ayat-ayat-Nya dan ajaran-ajaran-Nya.
Manna’
Al-Qathan, menerangkan status hukum tafsir bi ar ra’y sebagai berikut,
bila ra’yu (rasio) dan ijtihad menjadi landasan semata tanpa ada dasar
yang shahih maka hukumnya adalah haram, sehingga dipahami bahwa tidak boleh
menafsirkan Alquran dengan menggunakan metode ini.[13]
Pada
abad kelima hijriah bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai pendekatan
seperti pendekatan bahasa, ilmu pengetahuan, fiqh, sejarah, tasawuf dan
teologi,untuk dapat menerima penafsiran melalui tafsir bi al-ra’yi, Az-Zarkasy
mengemukakan sekurang kurangnya ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi,
antara lain:
1.
Ra’yu
tersebut merupakan nukilan dari Rasulullah SAW, dengan tetap
memperhatikan nilai nukilan itu.
2.
Ra’yu
tersebut terambil dari perkataan sahabat.
3.
Harus
mempertahankan prinsip-prinsip kebahasaan.
4.
Berpedoman
pada arti kalimat yang sesuai dengan ketentuan syara’.
C.
Pendapat Ulama
Para
ulama memberlakukan syarat-syarat yang begitu ketat bagi seseorang untuk dapat
disebut mufassir. Hal ini tentu saja beralasan terutama bila kita mengamati
sumber-sumber ajaran Islam yang begitu ketat memberikan rambu-rambu bagi siapa
saja yang ingin memberikan pemahaman terhadap suatu ayat di dalam Alquran.
Al-Suyuti, sebagaimana dikutip Thameem Ushama, menye-butkan beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum menafsirkan Alquran, sebagai berikut
:[14]
1.
Pengetahuan
bahasa Arab dan kaedah-kaedah bahasa (ilmu tatabahasa, sintaksis, etimologi dan
morfologi;
2.
Ilmu
retorika (ilmu ma‟ani, ilmu al-bayan dan al-badi‟u);
3.
Ilmu
ushul al-fiqh (khas, „am, mujmal dan mufashshal;
4.
Ilmu
asbab al-nuzul (latar belakang dan hal-hal yang berkenaan dengan
turunnya wahyu;
5.
Ilmu
nasikh wa al-mansukh;
6.
Ilmu
qira‟ah Alquran;
7.
Ilmu
al-muhibbah
Namun
demikian, sebagian ulama memandang bahwa Alquran adalah sebuah teks yang
senantiasa harus dapat diajak berdialog, kapan dan di mana pun. Akibatnya,
walaupun umat Islam menyepakati bahwa Alquran tidak mungkin mengalami
pengurangan dan penambahan, tidak berarti bahwa penafsiran terhadap Alquran
tidak boleh mengalami perubahan atau penyesuaian. Dengan demikian, tidaklah
berlebihan bahwa kemunculan berbagai metode penafsiran dapat dijadikan alasan
bahwa penafsiran adalah sesuatu yang dinamis, terlepas apakah corak penafsiran
itu ingin menunjukkan suatu identitas kelompok atau ingin mempertahankan
ide-ide tertentu yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok kegamaan itu tadi.
Tafsir
bi-al-ra‟yi, misalnya, sebagai salah satu bentuk penafsiran telah
menunai kritikan dari akibat penggunaan nalar di dalam menafsirkan ayat-ayat
Alquran. Yang menolak corak penafisiran ini memberikan argumetasi bahwa
menafsiran Alquran berdasarkan ra‟y berarti membicarakan firman Allah
tanpa pengetahuan sehingga hasil penafsirannya bersifat pemikiran semata (QS.
al-Isra’ (17) 36); yang berhak menjelaskan Alquran hanya nabi (QS. al-Nahl
(16): 44) dan sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat nabi dan tabi’in
untuk berhati-hati di dalama berbicara tentang penafsiran Alquran.
Sebaliknya,
di kalangan yang membolehkan bentuk penafsiran ini, mengemukakan argumentasi
dalil-dalil, antara lain: Allah mendorong manusia untuk berkontemplasi,
meditasi, dan menangkap isyarat-isyarat-Nya dan menuruh manusia membaca Alquran
Pendapat
ulama yang lebih moderat yang membagi corak tafsir ke dalam dua bagian: bentuk
tafsir bi al-ra‟yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul) / (mahmudah);
dan tafsir bi al-ra‟yi yang ditolak/tercela (mardud/madzmun)[15].
Tafsir bi al-ra‟yi diterima selama menghindari hal-hal berikut ini :
1.
Memaksakan
diri untuk megetahui makna yang dikehendaki Allah pada saat suatu ayat, padahal
dia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.
Mencoba
menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah.
3.
Menafsirkan
Alquran dengan hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu
baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.
Menafsirkan
ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham
mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham mazhab tersebut.
5.
Menafsirkan
Alquran dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian
atau tanpa didukung dalil[16]
Selama
mufassir bi al-ra‟yi memenuhi syarat-syarat dan menjauhi hal-hal yang
telah disebutkan di atas yang disertai dengan niat yang ihlas semata-mata
karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dapat dikatakan
rasional. Jika tidak demikian, berarti mufassir menyimpang dari cara yang
dibenarkan sehingga penafsirannya ditolak. Sebagai contoh tafsir bi al-ra‟yi
yang tidak dapat diterima ialah sebagai berikut :
a.
Penafsiran
golongan Syi’ah bahwa yang dimaksud kata al-Baqarah dalam surah al-Baqarah ayat
2 ialah Aisyah r.a.
b.
Penafsiran
sebagian mufassir terhadap surah al-Baqarah ayat 74
وإن
من الحجارة
لما يتفجر
منه الأنهار
وان منها
لما ييشقق
فيخرج منه
الماء وأن
منها لما
يهبط من
خشية الله
) البقرة : 74)
Artinya: “Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai darinya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air darinya dan di antaranya sungguh-sungguh ada yang meluncur
jatuh karena taku kepada Allah”. (QS. al-Baqarah (2) : 74).
Mufassir menafsirkan ayat di atas bahwa ada batu yang dapat
berpikir, berbicara dan jatuh karena takut kepada Allah[17]
c.
Penafsiran
sebagian mufassir terhadap surah al-Nahl (16) ayat 68
و
اوحى ربك
إلى النحل
أن تخذى
من الجبال
بيوتا ومن
الشجر ومما
يعرشون )النحل
67)
Artinya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah,”Buatlah sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibuat manusia”. (QS.
al-Nahl (16) :68).
Mufassir berpendapat bahwa di antara lebah-lebah itu, ada yang
diangkat sebagai nabi yang diberi wahyu oleh Allah, kemudian mereka
mengemukakan cerita-cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu,
sebagian yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian
tetesan itu dipindahkan oleh lebah kemudian lebah tersebut menggunakan tetesan
lilin itu untuk membuat sarang-sarang dan madu[18].
Di
antara karya tafsir yang menggunakan bentuk tafsir bi al-ra‟yi ialah
sebagai berikut :
a.
Mafatih
al-Ghayb,
(مفاتح الغيوب) , karya Fakh
al-Razi (w. 606 H.)
b.
Anwar
al-Tanzil wa Asrar al-Takwil, ( انوار التنزيل و اسرار التأويل ), karya al-Baidhawi (w. 691 H.)
c.
Madarik
al-Tanzil wa al-Haqa’iq al-Takwil (مدارك التنزيل و حقائق
التأويل ) karya al-Nasafi (w. 701 H.)
d.
aL bab
al-Takwil fi Ma’ani at tanzil, )
(الباب التأويل فى معانى التنزيلkarya
al-Khazim (w. 741 H.)[19]
Dari
kedua cara pandang di atas, dapat dikemukakan bahwa pelarangan terhadap
penafsiran bi al-ra‟yi terhadap Alquran, karena sebagian ulama ingin
tetap memelihara Alquran dari penafsiran yang distorsif. Sedangkan yang
membolehkannya, karena mereka berpendapat bahwa Alquran memberikan sinyal bahwa
Alquran dapat ditafsirkan dengan menggunakan ijtihad.
D.
Beberapa ketentuan tafsir bi al ra’yi
Tafsir
bi al ra’yi dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan khusus, yaitu [20]:
1.
Memahami
al-quran melalui pemahaman terhadap kata-kata yang telah baku dan dikenal
secara umum dikalangan bangsa arab
2.
Menggunakan
riwayat-riwayat yang sahih dalam menafsirkan alquran dan menjadikannya sebagai
alat bantu dalam pemahaman ayat-ayatnya.
3.
Mengetahui
asbab an-nuzul sebagai alat bantu dalam menjelaskan berbagai pandangan yang
mungkin timbul, dan dalam rangka pemahaman terhadap nass dalam realitas
kehidupan
4.
Tidak
menyimpang dari aturan logika atau tuntutan nurani yang sehat dan tidak keluar
dari arah penunjukan lafal-lafal dan pola-pola kalimat alquran.
5.
Tidak
menyimpang dari tujuan-tujuan umum ayat alquran yang ditafsirkan
6.
Menjadikan
penelitian dan hakikat pengetahuan dalam berbagai lapangan kehidupan sosial dan
juga realitas sosial yang telah ada sebagai alat bantu untuk memahami ayat-ayat
alquran.
PENUTUP
Tafsir
bi ar ra’yu adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan
pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil
hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab al-nuzul dan
nasikh wal al-mansukh. Bentuk tafsir ini disebut juga tafsir bi al-dirayah atau
tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan
tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in.
Di
antara penyebab kemunculan corak tafsir bi al-ra‟yi adalah semakin
majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin
ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar-pakar di
bidangnnya masing-masing.
Karya
tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang
dikuasainya. Itulah salah satu factor yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra‟y
dengan metode analitis, dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam,
seperti figh, falsafi, sufi, ilm, adabi ijtima‟ i.
Tafsir
bi al-ra’yi juga dibagi menjadi dua; tafsir bi al-ra’yi al-madzmum (yang
tercela) dan al-mahmud (yang terpuji). Pada hakikatnya perbedaan itu
berkisar sekitar apakah penafsiran yang dilakukan melalui pendapat akal semata
tanpa memperhatikan kaedah-kaedah bahasa, prinsip-prinsip Syara’ dan lain
sebagainya.
Namun,
apabila penggunaan akal tersebut disertai dengan syarat-syarat yang diperlukan
bagi seorang mufassir, maka tidak ada halangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu.
Bahkan al-Qur’an sangat menganjurkan untuk mempergunakan ijtihad dalam memahami
ayat-ayat-Nya dan ajaran-ajaran-Nya.
Dengan
menggunakan metode penafsiran bi ra’yu, yang sesuai dengan kaidah ketentuan
yang ketat, maka akan memungkinkan untuk memahami kandungan alquran yang lebih
kekinian dan mutakhir, sehingga alquran akan tetap sesuai dengan zaman dan
tidak ketinggalan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qattan,
Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta
: Litera AntarNusa, 1994
al
Qathan, Manna’. Pengantar Studi Imu Al-quran, Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 2008
al-
Dzahabi, Muhammad Husein. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I. Mesir: Dar
al-Maktub al-Haditsah. 1976
Anwar,
Rosihan. Ilmu Tafsir Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. cet. I, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2000.
Al-Syatiby,
Al-Muwafaqat, Jilid II. Beirut : Dar al-Ma’rifah
‘Ali
Hasan Al- Aridl, Sejarah Metodologi Tafsir. Ahmad Akrom (penerjemah), Jakarta
:PT. RajaGrafindo Persada. 1994.
Baidan,
Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011
Munawwir,
Ahmad Wasron. Kamus Al-Munawwir, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997
Nawir
Yuslem, Ulumul Qur’an. Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2011
Shihab,
M. Quraish. Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Ushama,
Thameen. Metodologi Tafir Al-Qur‟an, cet.1 Hasan Basri dan Amroeni,
(penerjemah), Jakarta: Rio Cipta, 2000.
By. Sirr Amir
[1] Ahmad Wasron
Munawwir, Kamus
Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997). hal. 1055
[2] Manna Khalil
al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta : Litera AntarNusa, 1994). hal. 456.
[3] Nashruddin
Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
hal. 40
[4] Muhammad
Husein al- Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I (Mesir: Dar
al-Maktub al-Haditsah, 1976) Hal 272
[5] M. Quraish
shihab, Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), hal 177.
[6] Baidan, Metodologi,
Hal 3
[7] Ibid, hal 3
[8] Rosihan Anwar,
Ilmu Tafsir Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. cet. I (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000) Hal 151.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul
Qur’an (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2011) Hal 110
[10] Baidan, Metodologi,
hal 4
[11] Al-Syatiby, Al-Muwafaqat,
Jilid II (Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.t.), hal. 18
[12] Yuslem, Ulumul,
hal 111
[13] Manna’ al
Qathan, Pengantar Studi Imu Al-quran (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
2008) hal 441
[14] Thameen Ushama,
Metodologi Tafir Al-Qur‟an, cet.1 Hasan Basri dan Amroeni, (penerjemah)
(Jakarta: Rio Cipta, 2000), hal 15.
[15] Anwar, Ilmu
Tafsir, 156
[16] Muhammad Husein al- Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I (Mesir:
Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976)
hal. 275
[17] Anwar, Ilmu
Tafsir, hal 157
[18] ‘Ali Hasan
Al-Aridl, Sejarah Metodologi Tafsir. Ahmad Akrom (penerjemah) (Jakarta
:PT. RajaGrafindo Persada. 1994) hal. 51
[19] Anwar, Ilmu
Tafsir, hal 158
[20] Yuslem, Ulumul,
hal 121
Trima kasih makalah ini sangat membantu ☺
BalasHapus