Selasa, 15 Mei 2012

Tafsir bi al-Ra’yi

PENDAHULUAN.
AlQur’an diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Bahkan juga menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim atau tidak. Selain sebagai petujuk, alQur’an juga menjadi penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, yang salah dan yang benar. Kedudukan sebagai petunjuk hidup, maka alQur’an harus dipahami oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat yang namanya ilmu tafsir.
Ilmu tafsir berperan menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat alQur’an, mengingat alQur’an diturunkan selain dengan gaya bahasa yang sangat tinggi, juga terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih. Dalam hal ini para ulama’ sering mengklaim bahwa alQur’an diturunkan dengan kalimat yang ringkas namun membawa unsur-unsur uslub (gaya) bahasa yang padat makna sehingga membuat para ahli bahasa zaman dahulu (bahkan sampai sekarang) tidak mampu menandingi alQur’an. Selain itu, juga tidak setiap orang memiliki kompetensi untuk menafsirkan alQur’an.

Pada abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat alQur’an. Namun pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat alQur’an selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti : pengetahuan bahasa yang mencakup Nahwu, Sharaf, Balaghah, juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu  Qira’ah, Asbab al- Nuzul, Nasikh- Mansukh, dan lain sebagainya.
Makalah ini akan membahas tentang tafsir bi ar-ra’yi. Di awali dengan membahas defenisi tafsir bi ar ra’yi dan perkembangannya, pembagian tafsir bi ar ra’yi, pendapat Ulama serta beberapa ketentuan tafsir bi ar-ra’yi.

 PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir bi al-Ra’yi dan Sejarah Perkembangannya
Tafsir bi al-ra’yi berasal dari kata perpaduan dua kata, yaitu tafsir, dan al-ra’yi. Tafsir secara bahasa berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak atau penjelasan[1]. Tafsir menurut istilah ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makan-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya[2].
Adapun tafsir alQuran, sebagaimana yang di defenisikan oleh Nashruddin adalah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat alQuran.[3] Berdasarkan defenisi yang diutarakan diatas, sehingga dapat diketahui bahwa menafsirkan alQur’an adalah menjelaskan dan menerangkan makna-makna yang sulit dipahami dari ayat-ayat AlQur’an tersebut.
Kata al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.
Adapu al-ra’yu secara semantik berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian semantik tersebut, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi adalah menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal. Corak ini dinamakan juga dengan al- Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan al- Tafsir bi al-ma’tsur.
Dengan demikian, tafsir bi al ­ra’yi, sebagaimana didefinisikan oleh al-Dzahabi ialah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab al-nuzul dan nasikh wal al-mansukh.[4]  Bentuk tafsir ini disebut juga tafsir bi al-dirayah atau tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in.
Pemenerimaan tafsir corak ini didasarkan atas ayat-ayat al-Qur’an sendiri, yang menurut mereka, memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungannya. Adapun ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir corak ini, sebagaimana yang dikutip Shubhi al-Shalih, adalah sebagai berikut.[5]
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا ﴿٢٤﴾
Artinya : “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci”. (Q.S. Muhammad: 24).
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ ﴿٢٩﴾
Artinya: “Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang mempunyai pikiran dapat memperoleh pelajaran darinya”. (Q.S. as-Shad: 29).
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Alquran sejak dulu sampai sekarang, akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya, penafsiran Alquran itu dilakukan melalui empat cara (metode), yaitu : ijmali (global), tahlili (analitis), muqarin (perbandingan), dan maudhu‟I (tematik)[6].
Nabi dan para sahabat menafsirkan Alquran secara ijmali, tidak memberikan rincian yang memadai. Oleh karena itu, di dalam tafsir mereka pada umumnya sukar ditemukan uraian yang detail. Dengan demikian, tidak salah bila dikatakan bahwa bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir Alquran yang pertama kali muncul.
Pada peride berikutnya, muncullah metode tahlili dengan mengambil bentuk bi al-ma‟tsur yang selanjutnya berkembang dengan bentuk bi al-ra‟yi[7]. Tafsir bi al-ra‟yi ini muncul sebagai corak penafsiran belakangan, yaitu setelah munculnya tafsir bi al-ma‟tsur, walaupun sebelumnya, ra‟y dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Alquran. Terutama, bilamana kita tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad[8].
Diantara sahabat yang termasuk kelompok mufassir bi ra’yi adalah : Abu Bakar Shiddiq, Umar ibn Al khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Mas’ud. Secara formal corak ini telah melembaga sebagai madrasah al tafsir bi ar ra’y masa itu yang ditangani langsung oleh Abdullah ibn Abbas[9].
Di antara penyebab kemunculan corak tafsir bi al-ra‟yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar-pakar di bidangnnya masing-masing. Pada akhirnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Itulah salah satu factor yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra‟y dengan metode analitis, dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam, seperti figh, falsafi, sufi „ilm, adabi ijtima‟ i[10].
Perlu dijelaskan, meskipun mufassir dalam hal ini menggunakan pemikiran, namun ia tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari pemahamannya terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam menggunakan corak tafsir ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan kaedah-kaedah penafsiran yang ketat, antara lain:[11]
1.      Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.
2.      Menguasai ilmu-ilmu alQur’an.
3.      Menguasai ilmu- ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu alQur’an, seperti hadis, Ushul fiqh dan lain sebagainya.
4.      Beraqidah yang benar.
5.      Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6.      Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.

B.     Klasifikasi Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi juga dibagi menjadi dua; tafsir bi al-ra’yi al-madzmum (yang tercela) dan al-mahmud (yang terpuji)[12]. Pada mulanya seluruh tafsir bi al-ra’yi adalah tercela. Hal ini karena adanya hadits yang melarang penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yi. Namun pada abad kelima hijriyah, karena kebutuhan  dan tuntutan zaman, ada kampanye untuk membentuk opini bahwa tidak semua tafsir bi al-ra’yi  tercela, ada juga yang terpuji, yaitu tafsir bi al-ra’yi yang berdasarkan dalil.
Pada hakikatnya perbedaan itu berkisar sekitar apakah penafsiran yang dilakukan melalui pendapat akal semata tanpa memperhatikan kaedah-kaedah bahasa, prinsip-prinsip Syara’ dan lain sebagainya. Hal ini dapat dikatakan telah memenuhi apa yang dikehendaki Allah SWT. Namun, apabila penggunaan akal tersebut disertai dengan syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang mufassir, maka tidak ada halangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu. Bahkan al-Qur’an sangat menganjurkan untuk mempergunakan ijtihad dalam memahami ayat-ayat-Nya dan ajaran-ajaran-Nya.
Manna’ Al-Qathan, menerangkan status hukum tafsir bi ar ra’y sebagai berikut, bila ra’yu (rasio) dan ijtihad menjadi landasan semata tanpa ada dasar yang shahih maka hukumnya adalah haram, sehingga dipahami bahwa tidak boleh menafsirkan Alquran dengan menggunakan metode ini.[13]
Pada abad kelima hijriah bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai pendekatan seperti pendekatan bahasa, ilmu pengetahuan, fiqh, sejarah, tasawuf dan teologi,untuk dapat menerima penafsiran melalui tafsir bi al-ra’yi, Az-Zarkasy mengemukakan sekurang kurangnya ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1.      Ra’yu tersebut merupakan nukilan dari Rasulullah SAW, dengan  tetap memperhatikan nilai nukilan itu.
2.      Ra’yu tersebut terambil dari perkataan sahabat.
3.      Harus mempertahankan prinsip-prinsip kebahasaan.
4.      Berpedoman pada arti kalimat yang sesuai dengan ketentuan syara’.
 
C.    Pendapat Ulama
Para ulama memberlakukan syarat-syarat yang begitu ketat bagi seseorang untuk dapat disebut mufassir. Hal ini tentu saja beralasan terutama bila kita mengamati sumber-sumber ajaran Islam yang begitu ketat memberikan rambu-rambu bagi siapa saja yang ingin memberikan pemahaman terhadap suatu ayat di dalam Alquran. Al-Suyuti, sebagaimana dikutip Thameem Ushama, menye-butkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum menafsirkan Alquran, sebagai berikut :[14]
1.      Pengetahuan bahasa Arab dan kaedah-kaedah bahasa (ilmu tatabahasa, sintaksis, etimologi dan morfologi;
2.      Ilmu retorika (ilmu ma‟ani, ilmu al-bayan dan al-badi‟u);
3.      Ilmu ushul al-fiqh (khas, „am, mujmal dan mufashshal;
4.      Ilmu asbab al-nuzul (latar belakang dan hal-hal yang berkenaan dengan turunnya wahyu;
5.      Ilmu nasikh wa al-mansukh;
6.      Ilmu qira‟ah Alquran;
7.      Ilmu al-muhibbah
Namun demikian, sebagian ulama memandang bahwa Alquran adalah sebuah teks yang senantiasa harus dapat diajak berdialog, kapan dan di mana pun. Akibatnya, walaupun umat Islam menyepakati bahwa Alquran tidak mungkin mengalami pengurangan dan penambahan, tidak berarti bahwa penafsiran terhadap Alquran tidak boleh mengalami perubahan atau penyesuaian. Dengan demikian, tidaklah berlebihan bahwa kemunculan berbagai metode penafsiran dapat dijadikan alasan bahwa penafsiran adalah sesuatu yang dinamis, terlepas apakah corak penafsiran itu ingin menunjukkan suatu identitas kelompok atau ingin mempertahankan ide-ide tertentu yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok kegamaan itu tadi.
Tafsir bi-al-ra‟yi, misalnya, sebagai salah satu bentuk penafsiran telah menunai kritikan dari akibat penggunaan nalar di dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Yang menolak corak penafisiran ini memberikan argumetasi bahwa menafsiran Alquran berdasarkan ra‟y berarti membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan sehingga hasil penafsirannya bersifat pemikiran semata (QS. al-Isra’ (17) 36); yang berhak menjelaskan Alquran hanya nabi (QS. al-Nahl (16): 44) dan sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat nabi dan tabi’in untuk berhati-hati di dalama berbicara tentang penafsiran Alquran.
Sebaliknya, di kalangan yang membolehkan bentuk penafsiran ini, mengemukakan argumentasi dalil-dalil, antara lain: Allah mendorong manusia untuk berkontemplasi, meditasi, dan menangkap isyarat-isyarat-Nya dan menuruh manusia membaca Alquran
Pendapat ulama yang lebih moderat yang membagi corak tafsir ke dalam dua bagian: bentuk tafsir bi al-ra‟yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul) / (mahmudah); dan tafsir bi al-ra‟yi yang ditolak/tercela (mardud/madzmun)[15]. Tafsir bi al-ra‟yi diterima selama menghindari hal-hal berikut ini :
1.      Memaksakan diri untuk megetahui makna yang dikehendaki Allah pada saat suatu ayat, padahal dia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.      Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah.
3.      Menafsirkan Alquran dengan hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.      Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham mazhab tersebut.
5.      Menafsirkan Alquran dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian atau tanpa didukung dalil[16]
Selama mufassir bi al-ra‟yi memenuhi syarat-syarat dan menjauhi hal-hal yang telah disebutkan di atas yang disertai dengan niat yang ihlas semata-mata karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional. Jika tidak demikian, berarti mufassir menyimpang dari cara yang dibenarkan sehingga penafsirannya ditolak. Sebagai contoh tafsir bi al-ra‟yi yang tidak dapat diterima ialah sebagai berikut :
a.       Penafsiran golongan Syi’ah bahwa yang dimaksud kata al-Baqarah dalam surah al-Baqarah ayat 2 ialah Aisyah r.a.
b.      Penafsiran sebagian mufassir terhadap surah al-Baqarah ayat 74
وإن من الحجارة لما يتفجر منه الأنهار وان منها لما ييشقق فيخرج منه الماء وأن منها لما يهبط من خشية الله
 ) البقرة : 74)
Artinya: “Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya dan di antaranya sungguh-sungguh ada yang meluncur jatuh karena taku kepada Allah”. (QS. al-Baqarah (2) : 74).
Mufassir menafsirkan ayat di atas bahwa ada batu yang dapat berpikir, berbicara dan jatuh karena takut kepada Allah[17]
c.       Penafsiran sebagian mufassir terhadap surah al-Nahl (16) ayat 68
و اوحى ربك إلى النحل أن تخذى من الجبال بيوتا ومن الشجر ومما يعرشون )النحل  67)
Artinya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah,”Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibuat manusia”. (QS. al-Nahl (16) :68).
Mufassir berpendapat bahwa di antara lebah-lebah itu, ada yang diangkat sebagai nabi yang diberi wahyu oleh Allah, kemudian mereka mengemukakan cerita-cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah kemudian lebah tersebut menggunakan tetesan lilin itu untuk membuat sarang-sarang dan madu[18].
Di antara karya tafsir yang menggunakan bentuk tafsir bi al-ra‟yi ialah sebagai berikut :
a.       Mafatih al-Ghayb, (مفاتح الغيوب) , karya Fakh al-Razi (w. 606 H.)
b.      Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Takwil, ( انوار التنزيل و اسرار التأويل ), karya al-Baidhawi (w. 691 H.)
c.       Madarik al-Tanzil wa al-Haqa’iq al-Takwil  (مدارك التنزيل و حقائق التأويل ) karya al-Nasafi (w. 701 H.)
d.      aL bab al-Takwil fi Ma’ani at tanzil, )  (الباب التأويل فى معانى التنزيلkarya al-Khazim (w. 741 H.)[19]
Dari kedua cara pandang di atas, dapat dikemukakan bahwa pelarangan terhadap penafsiran bi al-ra‟yi terhadap Alquran, karena sebagian ulama ingin tetap memelihara Alquran dari penafsiran yang distorsif. Sedangkan yang membolehkannya, karena mereka berpendapat bahwa Alquran memberikan sinyal bahwa Alquran dapat ditafsirkan dengan menggunakan ijtihad.

 D.    Beberapa ketentuan tafsir bi al ra’yi
Tafsir bi al ra’yi dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan khusus, yaitu [20]:
1.      Memahami al-quran melalui pemahaman terhadap kata-kata yang telah baku dan dikenal secara umum dikalangan bangsa arab
2.      Menggunakan riwayat-riwayat yang sahih dalam menafsirkan alquran dan menjadikannya sebagai alat bantu dalam pemahaman ayat-ayatnya.
3.      Mengetahui asbab an-nuzul sebagai alat bantu dalam menjelaskan berbagai pandangan yang mungkin timbul, dan dalam rangka pemahaman terhadap nass dalam realitas kehidupan
4.      Tidak menyimpang dari aturan logika atau tuntutan nurani yang sehat dan tidak keluar dari arah penunjukan lafal-lafal dan pola-pola kalimat alquran.
5.      Tidak menyimpang dari tujuan-tujuan umum ayat alquran yang ditafsirkan
6.      Menjadikan penelitian dan hakikat pengetahuan dalam berbagai lapangan kehidupan sosial dan juga realitas sosial yang telah ada sebagai alat bantu untuk memahami ayat-ayat alquran.

PENUTUP
Tafsir bi ar ra’yu adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab al-nuzul dan nasikh wal al-mansukh. Bentuk tafsir ini disebut juga tafsir bi al-dirayah atau tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in.
Di antara penyebab kemunculan corak tafsir bi al-ra‟yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar-pakar di bidangnnya masing-masing.
Karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Itulah salah satu factor yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra‟y dengan metode analitis, dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam, seperti figh, falsafi, sufi, ilm, adabi ijtima‟ i.
Tafsir bi al-ra’yi juga dibagi menjadi dua; tafsir bi al-ra’yi al-madzmum (yang tercela) dan al-mahmud (yang terpuji). Pada hakikatnya perbedaan itu berkisar sekitar apakah penafsiran yang dilakukan melalui pendapat akal semata tanpa memperhatikan kaedah-kaedah bahasa, prinsip-prinsip Syara’ dan lain sebagainya.
Namun, apabila penggunaan akal tersebut disertai dengan syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang mufassir, maka tidak ada halangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu. Bahkan al-Qur’an sangat menganjurkan untuk mempergunakan ijtihad dalam memahami ayat-ayat-Nya dan ajaran-ajaran-Nya.
Dengan menggunakan metode penafsiran bi ra’yu, yang sesuai dengan kaidah ketentuan yang ketat, maka akan memungkinkan untuk memahami kandungan alquran yang lebih kekinian dan mutakhir, sehingga alquran akan tetap sesuai dengan zaman dan tidak ketinggalan.


 
DAFTAR PUSTAKA

al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta : Litera AntarNusa,  1994
al Qathan, Manna’. Pengantar Studi Imu Al-quran, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008
al- Dzahabi, Muhammad Husein. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I. Mesir: Dar al-Maktub al-Haditsah. 1976
Anwar, Rosihan. Ilmu Tafsir Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. cet. I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
Al-Syatiby, Al-Muwafaqat, Jilid II. Beirut : Dar al-Ma’rifah
‘Ali Hasan Al- Aridl, Sejarah Metodologi Tafsir. Ahmad Akrom (penerjemah), Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada. 1994.
Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Munawwir, Ahmad Wasron. Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an. Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2011
Shihab, M. Quraish. Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Ushama, Thameen. Metodologi Tafir Al-Qur‟an, cet.1 Hasan Basri dan Amroeni, (penerjemah), Jakarta: Rio Cipta, 2000.

By. Sirr Amir



[1] Ahmad Wasron Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997). hal. 1055
[2] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta : Litera AntarNusa,  1994). hal. 456.
[3] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). hal. 40
[4] Muhammad Husein al- Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I (Mesir: Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976) Hal 272
[5] M. Quraish shihab, Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal 177.
[6] Baidan, Metodologi, Hal 3
[7] Ibid, hal 3
[8] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. cet. I (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000) Hal 151.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2011) Hal 110
[10] Baidan, Metodologi, hal 4
[11] Al-Syatiby, Al-Muwafaqat, Jilid II (Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.t.),  hal. 18
[12] Yuslem, Ulumul, hal 111
[13] Manna’ al Qathan, Pengantar Studi Imu Al-quran (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008) hal 441
[14] Thameen Ushama, Metodologi Tafir Al-Qur‟an, cet.1 Hasan Basri dan Amroeni, (penerjemah) (Jakarta: Rio Cipta, 2000), hal 15.
[15] Anwar, Ilmu Tafsir, 156
[16] Muhammad Husein al- Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I (Mesir: Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976) hal. 275
[17] Anwar, Ilmu Tafsir, hal 157
[18] ‘Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah Metodologi Tafsir. Ahmad Akrom (penerjemah) (Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada. 1994) hal. 51
[19] Anwar, Ilmu Tafsir, hal 158
[20] Yuslem, Ulumul, hal 121

1 komentar: